Jumat, September 11, 2009

Pasangan Dalam Diri

Sebagaimana Struktur Insan, oleh Imam Al-Ghazali ra dibagi dalam tiga aspek: Jiwa (an-nafs), Ruh dan Jasmani (jism)/jasad.
Jasmani atau jasad manusia terbentuk dari berbagai komponen dan unsur yang sanggup ‘membawa’ dan mempertahankan ruh dan nafsnya, yang kemudian menjadi suatu tubuh berpostur yang memiliki wajah, dua tangan dan kaki, serta bisa tertawa. Unsur-unsur jasmani tersebut adalah unsur yang sama dengan unsur makrokosmos yaitu air, udara, api dan tanah.

Kemudian adanya ruh membuat manusia mirip dengan hewan karena ruh yang dimaksud di sini adalah ruh yang juga dimiliki oleh hewan, yaitu ruh hewani. Dalam Al-Qur’an dikenal dengan istilah nafakh ruh. Ruh hewani ini adalah sesuatu yang bertempat, sehingga eksistensinya bisa dideteksi oleh ilmu kedokteran. Ia berjalan (mengalir) di seluruh anggota tubuh, pembuluh darah , urat nadi dan syaraf. Kehadirannya di suatu anggota tubuh, membuat bagian tubuh tersebut menjadi hidup. Apakah itu berwujud gerakan, sentuhan, menatap, mendengar, dan sebagainya.

Ruh inipun bukanlah Ruh Amr yang dimaksud di QS Al-Israa’ [17]: 85
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Ruh. Katakanlah: Ar-Ruh itu berasal dari Amr Rabbku, dan tidaklah engkau diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit." (Al-Israa’ [17]: 85)

Kemudian manusia juga memiliki jiwa (an-nafs) yang merupakan jauhar, yaitu yang berdiri sendiri, tidak berada di tempat manapun dan juga tidak bertempat pada apapun. Jiwa adalah alam sederhana yang tidak terformulasi dari berbagai unsur (materi) sehingga tidak mengalami kehancuran sebagaimana benda materi. Karena itu, kematian bagi manusia sesungguhnya hanyalah kematian tubuh dimana yang hancur dan terurai kembali ke asalnya adalah tubuh, sedangkan jiwa tidak akan hilang dan tetap eksis, sebagaimana firman-Nya,"Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka, dan mendapatkan rizkinya…” (QS Ali Imran [3]: 169).

pada saat seseorang memahami tujuan hidupnya, maka ia akan memperhatikan peran masing-masing aspek dalam dirinya, mengenal pula adanya sebuah hubungan keterpasangan beserta fungsinya masing-masing. mana yang seharusnya jadi pemimpin dan mana yang harus dipimpin. salah satu yang perlu direnungkan adalah bagaimana interaksi pasangan dalam diri berupa jiwa dan jasad, ibaratnya pasangan yang batin dengan yang lahir. Pasangan jiwa dan jasad laksana pasangan laki-laki dan perempuan pula. “Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita (istri).” (An-Nisaa’: 34) dalam diri kita terdapat aspek laki-laki yaitu jiwa yang harus menjadi pemimpin bagi perempuan yaitu aspek jasad.

Sang Jiwa, atau nafs, sebagai figur laki-laki tentu Allah berikan kemampuan memimpin bagi jasadnya. Di dalam jiwa terdapat inti berupa qalb, yang juga berperan sebagai tempat persinggahan cahaya iman. Dan lewat inti dari sisi kemanusiaannya inilah Allah memberikan petunjuk-petunjuk-Nya. Karena itu, tatkala sang jiwa berhasil dituntun oleh Allah untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan sesuai kehendak-Nya, maka sang hamba ini pun akan memiliki kemampuan pula untuk dapat menuntun jasadnya menggerakan apa yang menjadi keinginan jiwanya… (disarikan dari tulisan Kang Kuswandani Muhammad Yahdin)

Sebelum menikah dengan orang lain(di luar diri), sudah seharusnya untuk menikahkan pasangan antara jiwa dan jasad, dimana sang jiwa harus dapat menuntun sang jasadnya. dan itu mungkin tidak semuanya akan berjalan amat mulus. Penolakan, perbedaan, ketidakcocokan akan senantiasa ada.

Berbeda dengan bentuk hubungan/pasangan dengan orang lain(di luar diri), di mana kalau sudah tiada mungkin bisa mencari penggantinya. tapi dengan diri sendiri, kita tidak punya pengganti. Jasad dan jiwa yang kita miliki hanyalah yang kita punya sekarang. kita tidak punya pilihan menolak, cerai atau berpisah dengan diri sendiri, satu-satunya pilihan : menikah dengan sang diri.
Selengkapnya...