Rabu, Februari 25, 2009

Mengenal Diri

[TANYA] bersuluk, bermakna keberserahdirian. namun apakah yang dilakukan/dikerjakan oleh orang2 yg bersuluk? amalannya? dimana? caranya? kenapa? dan mengapa? (Nurhidayah)

[JAWAB] Bersuluk sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bermakna keberserahdirian. ‘Islam’ (aslama)-lah yang artinya ‘berserah diri’. ‘Islam’, adalah keberserahdirian dalam ketaatan dan pengabdian sejati kepada Allah.

Bersuluk, artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’, artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin - Lam - Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl [16] : 69, “Fasluki subula Rabbiki zululan,”
“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian, dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah meraih pengenalan akan diri sejatinya dan Rabb-nya, dan telah diangkat oleh Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama, hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami. Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik (bermakna ‘pejalan’).

Ber-suluk adalah menjalankan agama sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ - ‘Islam’ - ‘Ihsan’ (tauhid - fiqh - tasawuf) sekaligus, sebagai satu kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah, walaupun tidak selalu demikian.

Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan syari’at Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam konteks sebaik-baiknya secara lahiriah maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-amalan sunnah tambahan, bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya, dan untuk lebih mendekat kepada Allah.

“Tidak ada cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan (sunnah) nawafil, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari).

Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.

Dimana? Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak. Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.

Jadi, bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (ber-Islam), mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’), dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa ia diciptakan-Nya.

Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)

Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).

Juga,

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).

Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)

Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”

Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (’ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;


“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs; anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)

Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”

“Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)

Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.

Demikian pula, status ‘Abdullah’ (’abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.

Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah mengabdi/menghamba (ya’bud) kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)

Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,

“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)

Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.

Oleh Herry Mardian. Dikutip dari sini
Selengkapnya...

Selasa, Februari 24, 2009

Perlukah Cinta Melandasi Sebuah Pernikahan?

Oleh Kuswandani. Dikutip dari sini

Berbicara tentang cinta, tentu kita akan berhadapan dengan jutaan pemaknaan yang sangat beragam. Dan berbicara tentang cinta, maka setiap diri pun akan memiliki keragaman cara pandang. Setiap orang memiliki subjektivitas masing-masing dalam menilai konsep cinta, baik itu ditinjau dari sudut pandang agama, psikologi, sudut pandang seorang remaja yang baru mengenalnya bahkan setiap orang di peradaban mana pun tentu akan melihat dengan pandangan yang berbeda. Baik cinta yang mengandung nilai-nilai agama atau bahkan cinta bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk penistaan agama. Atas nama cinta orang bisa berkorban bagi Tuhannya, bagi negaranya, bagi kelompoknya, bagi kekasihnya, dan bagi siapa pun yang dia telah menjadi tumpuannya. Persoalan kita sekarang adalah, apakah cinta itu sendiri? Dan mengapa dalam ajaran suci Nabi Muhammad Saw. ada sebagaian umatnya yang kemudian meyakini penuh bahwa landasan cinta menjadi prasyarat utama sebuah pernikahan. Menikah tanpa cinta –menurut mereka- yang akan diperoleh kelak adalah kehancuran demi kehancuran.

Apa sih sebenarnya hakikat cinta itu? Mari kita sejenak berguru kepada seorang Waliyullah abad modern yang hidup dan mengabdikan dirinya di Negeri Barat Amerika. MR. Bawa Muhayyadien menuturkan,

Seorang bijak berkata kepadaku, “Anakku, mari kita bicara tentang cinta. Cinta apa yang kau miliki?” Merasa diri ini memang belum paham apa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiap wisdom yang menyemburat seperti cahaya.

Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkap esensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti, karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akal melayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauh dari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.

Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkan bunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernah ditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanya dengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawar itu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga dengan hatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yang terkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmu dengan kedamaian.

Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?

Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau pada kuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kau bersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagian dari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati. Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan harga yang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya.

Cintamu tidak sepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda, karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketika menungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikan kesenangan, kau berpaling.

Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatu dari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan. Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan. Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.

Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kau bilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jika pasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun, ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau enggan menghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.

Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang, tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuat salah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal. Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf.

Dan kelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kan kau cari pengganti dengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu, maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena dia memberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampu mendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.

Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kau bermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih saling membantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabat sejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan oleh harta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan keyakinanmu.

Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun dia terus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekal keyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukan saudaramu lagi.

Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kau mencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kau mendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena dia seiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudah cintamu. Cintamu telah berubah.

Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kau beri makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kau tinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu. Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah dan membakar tanpa ampun.

Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untuk mengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghina agamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkau jauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cinta kepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud atau menghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yang diajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.

Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskan cintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukan Kesejatian sebuah cinta. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cinta karena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah.

Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedang mengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untuk meninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal. Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap hari kendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turun dengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannya mengelupas, dan lama-lama tampaklah lobang di atas jalan itu.

Cinta yang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubah ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami hal ini, anakku.

Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Dia mencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidak membeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yang menghinNya, semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiap yang hidup.

Dia tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluk tidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yang menyembahNya saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cinta yang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetap mencintai setiap ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernah berubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan.

Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanam bibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam di sekitarmu.

Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yang kau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memiliki cinta sejati, True Love.

Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kau melihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kau mencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kau lihat, tapi yang kau lihat “Oh my God! Ini ciptaanMu, sungguh cantiknya. Ini kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya.”

Ketika kau lihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kau lihat pancaran CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalam misteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kau cintai, setiap yang kau lihat.

Ketika kau melihat makanan, kau bilang “Ya Allah, ini makanan dariMu. Sungguh luar biasa!” Ketika kau melihat seekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujud dalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihat Dia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadi berhalamu.

Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yang menciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kau belum mengerti.

Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulah kau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidak terikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu oleh baju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamu langsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, dan harta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsung melihat Dia.

Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku. Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya. Dirimu harus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawar merekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangi ke sekitarnya.

Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu, mekarkan mawarmu.

Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akan memancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegang segala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhala filosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akan pengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, teliti dengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?

Apakah Dia membenarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang “Allahu Akbar,” apakah kau benar-benar sudah bisa melihat ke-Akbar-an Dia dalam setiap yang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, maka sesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang.

Jalanmu menuju keber-Islam-an masih di depan. Kau masih harus membuka kebun bunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yang memegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu, masuklah ke dalam taman mawarmu.

Bersihkan rumput-rumput liar di sana, gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkallah. InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru istana.

Semoga Allah membimbingmu, anakku.

Semoga kiranya kita semua dapat mengambil mutiara sangat berharga yang Allah hunjamkan ke dalam hati guru kita, Bawa Muhayyadien dengan penuturannya yang indah tentang konsep cinta sejati.. Amin.

Ada sebuah hadis yang cukup masyhur di kalangan kita, berupa doa Rasulullah Saw,

اَللّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ . وَ حُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ . وَ حُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ …

Ya Allah, Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu… Dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu… Dan kecintaan kepada amal yang bisa mendekatkan diri pada kecintaan-Mu…

Bagi penulis, inilah definisi yang bisa diambil. Cinta adalah sebuah rasa yang bersifat universal, berlaku bagi setiap manusia di manapun juga. Cinta yang sejati adalah tatkala seseorang mencintai Allah di atas segalanya, dan seseorang mencintai manusia lain yang juga mencintai Allah, dan mencintai setiap perbuatan yang melahirkan kecintaan kepada Allah…

Seorang hamba yang shalih tentu akan berjuang menemukan keshalihan dalam hidupnya. Ketika dia belajar mencintai Allah, tentunya akan belajar pula untuk mengenal Allah dengan benar, dan bagaimana dia bisa mengenal Allah jika dia belum mengenal dirinya. Untuk bisa mengenal dirinya, maka Allah pun menghadirkan mekanisme pasangan dalam hidupnya. Sehingga kehadiran pasangan itu lah yang akan menjadi salah satu jalan seseorang dapat mengenal Allah. Lalu sejauh manakah seseorang bisa menemukan pasangan yang tepat bagi dirinya sehingga dapat menjadi sarana pengenalan dirinya, akan terukur dari buang pengenalan dengan pasangan itu apakah amal-amal shalih yang tampil kelak, atau keburukan. Maka apabila dari interaksi seseorang itu dengan pasangannya melahirkan amalan demi amalan yang mendekatkan pada cinta Allah, kita bisa meyakini bahwa itulah jalan yang haq yang Allah tuntun hingga kelak kita bisa mengenal Dia dengan benar.

Demikian pula ketika kita membangun rasa cinta, dengan siapa pun juga, dengan benda mana pun juga, sepanjang rasa itu dapat membuahkan sebuah tindakan-tindakan keshalihan yang menjadi sarana kecintaan kepada Allah, maka semoga cinta yang kita bangun itu adalah sebuah cinta yang haq menurut Allah.

Dan sebaliknya apabila rasa cinta yang kita bangun malah membuahkan keburukan demi keburukan, pelanggaran demi pelanggaran, kemaksiatan demi kemaksiatan baru, maka bisa kita yakini pula bahwa itulah cinta yang tidak Haq, cinta yang malah menarik seseorang semakin jauh dari kecintaan Allah.
Selengkapnya...

Minggu, Februari 22, 2009

7 Langit, 7 Malaikat Penjaga dan 7 Amal Sang Hamba

Ada sebuah hadits yang menurut saya sangat penting untuk direnungkan, dimana haditsnya lumayan cukup panjang, mudah-mudahan kita semua memperoleh hikmahnya.
Dari Ibnu Mubarok dan Khalid bin Ma’dan, mereka berkata kepada Mu’adz bin Jabal ra., “Wahai Mu'adz! Mohon ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah saw. Ajarkan kepadamu, yang telah dihapal olehmu dan selalu di ingat-ingat olehmu, karena saking halus serta dalamnya akan makna ungkapannya...,hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits yang terpenting?”
Mu'adz ra. Pun menjawab, “baiklah.. akan aku ceritakan..” tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat, kemudian beliau pun baru terdiam. Kemudian beliau berkata “Ehm,... sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah, ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau...” kemudian Mu'adz ra. Pun melanjutkan...

“Suatu hari, ketika aku menghadap Rasulullah saw. Yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Kemudian Nabi menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang Beliau.
Kemudian aku melihat Rasulullah saw. Menengadah ke arah langit dan bersabda, “segala kesyukuran hanyalah diperuntukan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaanNya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz...!” “Labbaik, wahai penghulu para rasul..!”
“Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla..!
“Wahai Muadz... Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya”.
Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya, dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut kelangit dunia yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah pun kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya. Namun, tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!!Aku adalah pemilik ghibah, Rabbku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia –(membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak akan suka mendengarnya)- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini..!!”.
Kemudian keesokkan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit ke-2. namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, “Berhenti kalian! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu... sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu beramal hanya berharap duniawi belaka. Rabbku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit ke-dua ini untuk menuju langit berikutnya!...” mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang didalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ke-3, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata...”Berhentilah kalian!... Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabbku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelisnya (perkumpulannya).”
Malaikat Hafadzah lainnya naik kelangit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji, dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit ke-4. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata,...”Berhentilah kalian!.. Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya!..Aku adalah malaikat penjaga sifat ‘ujub (takjub akan keadaan dirinya sendiri). Rabbku memerintahkan kepadaku agar tidak membiarkan amalannya melewati-ku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur ‘ujub didalam jiwanya ketika melakukan sesuatu perbuatan!...”
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang di iring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menuju langit kelima dengan malannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memliki cahaya bagaikan sinar matahari. Namun, sesampainya di pintu langit ke-5 tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu...”Saya adalah pemilik sifat hasad(dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabbku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalan tersebut melewatiku menuju langit berikutnya...!”
Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam, Namun malaikat penjaga pintu langit ke-6 berkata,...”saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah pemiliknya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah (kasih sayang) sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabbku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!”
Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara’ (berhati-hati dalam beramal). Amalan terbut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit ke-7, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata,..”Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum’ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabbku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini untuk menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta’ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya’, dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya’ tersebut...!”
Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta’ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah swt. Mereka berhenti di hadapan Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta’ala.
Namun tanpa disangka, Allah swt. Berfirman ...”Kalian adalah malaikat hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam dirinya. Sesungguhnya dia dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku!...Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-ku. Dan Aku maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah yang maha Mengetahui segala yang ghaib, yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam qalb-qlab. Tidak ada satupun di hadapan-ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku!!...
Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya,..”Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami.” Dan berkatalah seluruh petala langit,...”Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!”
Mendengar penuturan Rasulullah Saw sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu’adz Rahimahullah, dengan isak tangis yang cukup keras...lama baru terdiam kemudian beliau pun berkata dengan lirihnya,...”Yaa Rasulullah, bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi?” Rasulullah saw. Pun bersabada “Oleh karena itu wahai Mu’adz...Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...”.
Dengan suara yang bergetar Mu’adz pun berkata, “Engkau adalah seorang Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu’adz bin jabal...Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua..??” Nabi yang suci pun bersabda,...”Baiklah wahai Muadz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Al-Quran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Jangan tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya meraka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya ta’ala, “Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya.”(QS An-Naaziyat[79:2]) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapai tulang..” Mendengar penuturan Rasulullah saw sedemikian itu, Mu’adz kembali bertanya dengan suara yang semakin lirih, “Yaa Rasulullah, siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua...??”
“Wahai Mu’adz!sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala..Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engaku mencintai dirimu sendiri, dan engku membenci mereka sebagaimana dirimu membenci-nya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya...!!”
Khalid bin Ma’dan kemudian berkata bahwa Mu’adz bin jabal ra. Sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Quran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Al-Quran di dalam majelis pertemuannya.
Selengkapnya...

Sabtu, Februari 21, 2009

Nasehat

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan beberapa sms dari seorang Ukhti yang penuh semangat. sms tersebut berisi nasehat-nasehat dan doa, walaupun isi-nya sederhana dan sudah tau sebelumnya tapi kalau diresapi dan direnungkan kembali sungguh sangat dalam makna-nya. Saya sangat senang sekali mendapatkan sms nasehat-nasehat ini, karena setiap manusia membutuhkan pemberi nasehat dan peringatan dalam hidupnya, karena manusia adalah mahluk pelupa dan pelalai, bahkan makhluk yang banyak berbuat kesalahan. Oleh karena itu, Allah swt. menyatakan:

Wal ashri, innal insaana lafii khusrin, illalladziina aamanuu wa ‘amilush-shaalihaati watawaa shaubil haqqi watawaa shaubish-shabri.

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Asr)

Semangat surat Al-Asr ini menjelaskan keharusan setiap orang untuk beriman dan beramal sholeh, jika ingin selamat baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan iman dan amal sholeh saja ternyata masih merugi, sebelum menyempurnakannnya dengan semangat saling memberi nasehat dan bersabar dalam mempertahankan iman, meningkatkan amal shaleh, menegakkan kebenaran dalam menjalankan kehidupan ini.

sms doa : "Semoga Allah jadikan shubuhmu cahaya, dzhuhurmu gembira, asharmu bahagia, isyamu keberkatan dan doamu tidak ditolak dan diluaskan rizkimu. Amin"

"Adakalanya qta perlu menangis agar tau hidup bukan sekedar ketawa, adakalanya perlu ketawa agar tau mahalnya nilai airmata. Bersyukur pada yang menyakitimu karena ia yang menabahkanmu, bersyukur pada yang tidak mengindahkanmu karena ia yang memupukmu berdikari, bersyukur pada yang menjatuhkanmu karena ia yang memperhebatkanmu, bersyukur pada yang menyiksamu karena ia yang menguji kesabaran dan ketabahanmu."

nasehat perumpamaan : "Tanam padi, rumput kan tumbuh jua. Tapi tanam rumput takkan tertumbuh padi. Begitu juga dunia dan akhirat, kejar akhirat, dunia kan dapat bersama tapi kejar dunia, itu semata yang didapat."
nasehat ini yang saya resapi bahwa kita harus melakukan seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw., yaitu tidak memisahkan dunia dan akhirat. Setiap aktivitas duniawi mempunyai proyeksi akhirat dan setiap amalan ukhrawi memiliki imbas duniawi. Sehingga terciptalah fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Saya kemudian teringat juga dengan nasehat dari kakek, tapi saya memanggilnya dengan Bapak Uwa, sungguh jasa-jasanya begitu besar bagi saya yang setiap saat mendidik dan menasehati saya, semoga Almarhum diterima segala amal kebaikannya oleh Allah dan menerima limpahan rahmat-Nya. Dimana ketika sekolah stm dulu terbawa oleh lingkungan sempat jadi perokok beliau-lah yang menasehati saya sampai bisa berhenti. Satu lagi nasehatnya yang selalu saya ingat "Ingat! ketika menuntut ilmu itu harus focus, jangan merokok, jangan pernah minum minuman keras, dan jangan dulu ke perempuan". Dengan nasihat ini yang menjadikan saya belum pernah punya pacar setelah masa SMU sampai sekarang, soalnya kalau di SD dan SLTP masih belum dewasa dan sedang masanya puppy love :) Alhamdulillah adanya nasihat dari kakek saya ini seyogyanya jadi penjaga agar tidak salah jalan dan pengingat untuk selalu jujur yang mengahantarkan pada keberhasilan dan keselamatan.

Sangatlah disayangkan jika ada di antara kita yang menganggap sepele soal nasehat ini. Atau merasa dirinya sudah cukup, sudah pintar, sudah berpengalaman sehingga tidak lagi butuh yang namanya nasehat dari orang lain. Padahal dengan menerima nasehat dari orang lain pertanda adanya kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan dan menunjukkan kelebihan pada orang tersebut.

Kalimat “nasaha” yang artinya nasehat, makna dasarnya adalah menjahit atau menambal dari pakaian yang sobek atau berlubang. Maka orang yang menerima nasehat artinya orang tersebut siap untuk ditutupi kekeruangan, kesalahan, dan aib yang ada pada dirinya. Sedangkan orang yang tidak mau menerima nasehat menunjukkan adanya sifat kesombongan, keangkuhan, dan ketertutupan pada orang tersebut.

“Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam; jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat, maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin, maka doakanlah; jika sakit, jenguklah ia; dan jika meninggal dunia, maka iringilah ke kuburnya.” (HR. Muslim)

Dengan saling menasehati antara kita, maka akan banyak kita peroleh hikmah dan manfaat dalam kehidupan kita. Akan banyak kita temukan solusi dari berbagai persoalan, baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat bangsa bahkan Negara.

Karenanya nasehat itu sangatlah diperlukan untuk menutupi kekurangan dan aib yang ada di antara kita. Karena nasehat itu dapat memberi keuntungan dan keselamatan bagi yang ikhlas menerima dan menjalankannya. Karena saling menasehati itu dapat melunakkan hati dan mendekatkan hubungan antara kita. Karena satu sama lain di antara kita saling membutuhkannya.

Terima kasih Ukhti, mudah-mudahan kita akan selalu seperti ini, saling nasihat-menasehati dalam kebaikan, saling mengingatkan ketika melakukan kemungkaran, saling memaafkan atas semua kesalahan dan saling mengasihi karena Allah.
Selengkapnya...

Kamis, Februari 19, 2009

Lintasan Fikiran

Banyak pikiran yang terlintas di benak ini, setiap harinya mungkin ratusan lintasan yang lewat. Ada yang kemunculannya berulang-ulang, setiap kali menatap, merasa atau adanya kesempatan, hal ini yang menyebabkan lintasan tersebut tersimpan dalam memori yang terus diingat dan selanjutnya mungkin itu menjadi landasan untuk bersikap. Lintasan itu kadang ada yang positif dan ada juga yang negative, hati-hati... terkadang kita terlalu buru-buru dalam mengambil tindakan dengan lintasan yang ada dibenak kita tanpa pertimbangan yang matang. Apa pertimbangannya ? manusia dalam mengambil keputusan, dalam menyelesaikan permasalahannya ada dua pertimbangan atau pandangan.

1. Pragmatisme, yang mendasarkan pada kesenangan fisik atau duniawi, bersifat experiment / mencoba-coba dan mementingkan nafsunya sendiri.
2. Idealisme, yang mendasarkan pada hukum syar’i yaitu hukum agama, Al Qur’an dan Al Hadits, dimana terdapat wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Ingat & Berhati-hatilah! awal dari semua yang kita lakukan berasal dari lintasan pikiran, seringnya lintasan pikiran tersebut maka akan termemorikan, kemudian menjadi gagasan, dan apabila gagasan tersebut menguat dalam diri, maka akan menjadi sebuah keyakinan dan apabila keyakinan juga telah menguat dalam diri, maka akan menjadi kemauan, jika menjadi kemauan maka kita akan melakukan tindakan. Apabila tindakan ini diulang berkali-kali, maka tindakan itu akan menjelma menjadi kebiasaan. Jika kebiasaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka ia akan naik satu tingkat dan mengakar lebih dalam yang akhirnya menjadi watak dari diri kita. Oleh karena itu, Imam Al Ghazali menggambarkan akhlak / karakter sebagai tindakan yang muncul dari seseorang yang tidak didahului dengan proses berpikir.
Cara berpikir = Visi -> Lintasan pikiran, memori & gagasan.
Cara merasa = Mental -> Keyakinan & kemauan.
Cara bertindak = Sikap -> Tindakan, kebiasaan & watak.
Untuk itu, marilah kita tingkatkan pengetahuan tentang ilmu agama Islam agar hidup dapat dijalani dengan selamat dan penuh dengan kebahagiaan. Semoga kita termasuk orang yang berserah diri "aslama" dan mempunyai akhlak terpuji, amin...
Selengkapnya...

Rabu, Februari 18, 2009

Reflection

Seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk dan mengamati dalam beberapa jam calon kupu-kupu itu Ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayap mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

Semuanya tak pernah terjadi. Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak disekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yg dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Allah SWT untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut. Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak disekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut. Dia tidak pernah bisa terbang. Kadang-kadang perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Allah SWT membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin akan melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yg semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak akan pernah dapat "terbang".
Mungkin kita perlu mengatakan :
Saya memohon Kekuatan ...
Dan Allah SWT memberi saya kesulitan-kesulitan untuk membuat saya kuat.
Saya memohon Kebijakan ...
Dan Allah SWT memberi saya persoalan untuk diselesaikan.
Saya memohon Kemakmuran ...
Dan Allah SWT memberi saya Otak dan Tenaga untuk bekerja.
Saya memohon Keteguhan hati ...
Dan Allah SWT memberi saya Bahaya untuk diatasi.
Saya memohon Cinta ...
Dan Allah SWT memberi saya orang-orang bermasalah
untuk ditolong.
Saya memohon Kemurahan/kebaikan hati ...
Dan Allah SWT memberi saya kesempatan-kesempatan.
Saya tidak memperoleh yg saya inginkan,
saya tidak mendapatkan segala yang saya butuhkan ............
Kadang Allah SWT tidak memberikan yang kita minta,
tapi dengan pasti Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita,
kebanyakan kita tidak mengerti/mengenal,
bahkan tidak mau menerima rencana Allah SWT,
kenyataannya itulah yang terbaik untuk kita.
Berserahlah senantiasa.
Selengkapnya...

Selasa, Februari 17, 2009

Fisik Rasulullah

Saat seseorang memandang fisik Rasulullah saw., ia segera merasakan bahwa ia sedang berada di depan keindahan yang meng-agumkan dan tak ada duanya. Penampilan yang mencerminkan ke-percayaan yang mutlak dan tak terbatas. Berikut ini adalah pendapat yang disepakati oleh mereka yang bertemu dan melihat langsung Rasulullah saw.

Ad-Darimi dan al-Baihaqi mentakhrij bahwa Jabir bin Samurah berkata, “Aku melihat Nabi saw. pada malam bulan purnama, dan ketika aku bandingkan antara wajah Nabi saw. dan indahnya bulan, saya dapati wajah Nabi saw. lebih indah dibandingkan rembulan.”

At-Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah dari Rasulullah saw.. Seakan-akan mentari bersinar dari wajah beliau. Aku tidak pernah dapati seseorang yang lebih cepat jalannya dibandingkan beliau, seakan-akan bumi melipat sendiri tubuhnya saat beliau berjalan. Ketika aku ikut berjihad, aku lihat beliau tidak pernah berlindung di balik perisai.”

Bukhari-Muslim meriwayatkan bahwa al-Barra berkata, “Rasulullah saw. mempunyai pundak yang lebar, rambutnya mencapai ujung telinga, dan tidak pernah ada orang yang lebih indah dipandang dibandingkan beliau.”

Muslim meriwayatkan dari Abu Thufail bahwa ia pernah diminta untuk menceritakan tentang Rasulullah saw. kepada kami, kemudian ia menjawab, “Beliau memiliki wajah yang putih dan berseri.”

Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. memiliki dua kaki yang kokoh dan tegap, dan wajah yang indah, yang belum pernah kutemukan wajah seindah itu sebelumnya.”

Abu Musa Madini meriwayatkan dalam kitab ashShahabah bahwa Amad bin Abad al-
Hadhrami berkata, “Aku melihat Rasulullah saw., dan tidak pernah melihat wajah seindah itu sebelumnya maupun sesudahnya.”

Ad-Darimi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku tidak pernah temukan orang yang lebih berani, dermawan, dan lebih bersinar wajahnya, dibandingkan Rasulullah saw..”

Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Mahrasy Kahti berkata, “Rasulullah saw. mengambil umrah dari jiranah, pada malam hari. Dan, ketika saya melihat bagian belakang tubuh beliau, saya seperti melihat perak yang menyala.”

Abdullah bin Imam Ahmad serta al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata,
“Rasulullah saw. bukanlah orang yang tubuhnya tinggi menjulang.Jika berjalan bersama rombongan, beliau tampak menonjol. Wajahnya putih, kepalanya besar, alis matanya panjang dan hitam, dan jika ada keringat yang menetes dari wajah beliau, akan tampak seperti mutiara. Aku tidak pernah melihat wajah seindah wajah beliau, sebelumnya atau setelahnya.”

Deskripsi tentang Rasulullah saw. yang diberikan oleh Hindun bin Abi Halah, “Tubuh Rasulullah saw. menampakkan pribadi yang agung. Wajahnya bersinar seperti bulan purnama. Kepalanya besar. Rambutnya keras. Kulitnya putih ke-merahan. Keningnya luas. Alisnya tebal.Jika marah, keningnya meneteskan keringat. Hidungnya mancung. Tubuhnya diliputi cahaya. Orang yang tidak memperhatikan dengan saksama menyangkanya amat tinggi.Jenggotnya tebal. Matanya hitam. Kedua pipinya tirus. Mulutnya lebar. Giginya indah. Memiliki bulu halus di atas perut. Lehernya amat halus. Tubuhnya sedang. Sedikit gemuk dan tegap, dengan perut dan dada yang seimbang. Dadanya bidang. Kedua pergelangan tangannya panjang. Telapak tangannya luas. Kedua kaki dan tangannya kekar. Jari-jarinya panjang. Jalannya tegap, seperti sedang turun dari ketinggian. Jika menoleh, dengan seluruh tubuhnya. Pandangannya selalu tertunduk he tanah, dan jarang sekali mendongakkan matanya he langit....”

Jika Rasulullah menyentuh seseorang, orang itu akan merasakan ketenangan yang mengagumkan, dan perasaan ketinggian ruhani yang menakjubkan. Ahmad
meriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash berkata, “Suatu ketika aku jatuh sakit di Mekah. Kemudian Rasulullah saw. menjenguk, meletakkan tangan beliau di kening, dan mengusap wajah, dada, serta perutku. Hingga saat ini, aku masih merasakan sentuhan tangan beliau dijantung.”

Muslim meriwayatkan bahwa Jabir bin Samurah berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. mengusap mukaku dengan tangannya. Aku dapati tangan beliau demikian sejuknya dan berbau wangi. Seakan-akan tangan tersebut baru dikeluarkan dari kantong kesturi.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas r.a. berkata, “Aku belum pernah menemui sutra maupun beludru yang lebih lembut dari tangan Rasulullah saw. Dan, belum pernah mencium bau misik atau minyak anbar yang lebih harum dari Rasulullah saw..”

Penampilan beliau memberikan sugesti kepada orang yang melihatnya bahwa orang tersebut sedang berdiri di hadapan seorang nabi. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Salam berkata, “Ketika Nabi saw. datang ke Madinah, aku menemui beliau. Ketika aku melihat wajah beliau, aku segera mengetahui bahwa wajah beliau bukan wajah seorang pendusta.”

Abu Ramtsah Tamimi berkata, “Aku mendatangi Nabi saw. bersama anakku. Ketika aku melihat beliau, hatiku langsung berkata, ‘Orang ini pastilah nabi Allah.’”

Abdullah bin Rawahah berkata tentang Rasulullah saw, “Seandainya tidak ada ayat-ayat penjelas pun, yang menerangkan beliau sebagai rasul, niscaya penampilan dan tubuh beliau sudah cukup menjadi keterangan itu.”
Ini adalah sebagian riwayatyang menjelaskan tentang tubuh Rasulullah saw.. Semua keagungan postur tubuh beliau itu kami ceritakan kembali, sehingga kita dapat menangkap dengan jelas kepribadian Rasulullah saw. dari segala seginya.
Ar Rasul karya Said Hawwa
Selengkapnya...

Syukur

Berhentilah menyesali apa yang kita dapat dalam hidup kita adalah tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Secara Filosofis hal itu adalah hal yang paling penting dalam kita mendapat kebahagian dalam hidup yang kita jalani. karena kita akan merasa tertekan karena apa yang telah kita miliki dalam hidup tidak sesuai dengan harapan atau cita-cita kita.

Percaya atau tidak kebiasaan selalu tidak pernah bersyukur atau mensyukuri apa yang kita miliki atau kita dapat adalah sebuah kebiasaan buruk yang telah menjadi kebiasaan dari kita, sehingga kita sulit dalam mendapatkan kebahagian dalam hidup, karena selalu merasa tidak beruntung, walau sebenarnya kalau kita sadari kita telah memiliki banyak hal dalam hidup kita. Ketika kita mendapat sesuatu mimpi atau keinginan, sebagai manusia pasti kita akan tergoda atau tersirat dalam benak kita bahwa yang kita dapat terkadang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, dan jauh didalam hati kita, kita berharap mendapat sesuatu yang lebih baik lagi.

sebagai contoh, ketika ketika kita berharap pertama kita berharap mendapat mobil, tanpa embel-embel jenis mobil yang kita inginkan hanya sebuah mobil, tetapi sejalan kita bisa mendapat mobil, yang kita dapat mungkin sejenis minibus, tetapi dalam hatikita, mungkin kita berharap mendapat mobil sedan. hal ini membuat kita berfikir seandainya saya mendapat mobil sedan pasti saya lebih bahagia. Lupakah kita akan keinginan awal kita, yang berharap hanya mendapat mobil, tetapi ketika kita mendapat apa yang kita inginkan,keinginan kita berkembang menginginkan yang lebih. Itulah sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dan bahagia walau terkdang apa yang
diinginkan telah terpenuhi.

Coba deh kita tanyakan pada diri kita secara terbuka, pasti kita pernah mengalami perasan seperti ini, karena hampir semua orang pernah mengalaminya. permasalahanya adalah ketika terjadi GAP/perbedaan antara apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan, kita menjadi tidak puas atau bahkan bisa mengarah ke frustasi. hal ini berlaku dalam hubungan kita dan dalam semua aspek dalam kehidupan kita.

Kuncinya adalah dengan melihat atau menyadari tentang gap yang terjadi antara apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan. cobalah sedikit luangkan waktu untuk bertanya pada diri kita sendiri apa yang sebenarnya kita harapkan, dan tanyakan juga apakah kalau kita sudah memiliki yang kita inginkan kita akan puas, dan apa bedanya sesuatu yang kita miliki dengan apa yang kita inginkan, cobalah nikmati dan syukuri apa yang kita miliki saat ini, dan kita akan menemukan sesuatu yang membuat kita bahagia.

Karena yakinlah apa yang kita miliki adalah sesuatu yang terbaik, dan coba lihat sekeliling kita, bahwa banyak orang yang sebenarnya masih mengejar apa yang kita miliki, dan banyak orang yang menginginkan apa yang kita miliki, jangan menjadi menyesal ketika apa yang kita miliki Keluarga, Pekerjaan, Atau Bisnis, Pendidikan, atau pun suatu benda yang telah kita miliki itu hilang, atau raip. Jangan jadi orang yang menyesal ketika kita kehilangan yang kita miliki, karena kita tidak pernah mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki, karena terlalu terbuai dengan apa yang kita inginkan.
"Syukuri, Nikmati, dan Jaga apa yang kita dapat dan miliki saat ini, karena kita akan merasakan penyesalan ketika sesuatu yang kita miliki itu hilang " "Dengan bersyukur sesuatu yang kecil akan bernilai luar biasa"

Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata, “Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40).
Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).

Dua kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat Allah.

Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.

Secara umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. (An-Nahl 112)

Nikmat Allah

Betapa zhalimnya manusia, bergelimang nikmat Allah tetapi tidak bersyukur kepada-Nya (Ibrahim: 34). Nikmat yang Allah berikan kepada manusia mencakup aspek lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah) serta gabungan dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam kenikmatan itu dan mengingatkan kepada manusia akan nikmat tersebut dengan berulang-ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”

Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang Maha Penyayang memberikan limpahan nikmat kepada manusia dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghitungnya. Dari awal sampai akhir surat Ar-Rahman, Allah merinci nikmat-nikmat itu.

Dimulai dengan ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia. Dan menciptakan manusia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan makhluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang kekal. Di sana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk kenikmatannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”

Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah)

Sungguh Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah kita sadar akan nikmat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78, ada nikmat yang lain yang harus disyukuri manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Cobalah renungkan! Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak dapat melihat. Seluruh yang ada di hadapannya adalah sama. Tidak dapat melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta, tuli, dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah sakit, menjadi beban yang lainnya. Demikianlah nikmat penglihatan, pendengaran, dan akal. Demikianlah nikmat sarana kehidupan (wasail al-hayat).

Pedoman Hidup (Manhajul Hayah)

Sekarang apa jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir. Kemudian mata itu tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, dan akal tidak digunakan untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya makhluk. Mereka itu seperti binatang. Bahkan, lebih rendah dari binatang (Al-A’raf: 179).

Demikianlah, betapa besarnya nikmat petunjuk Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Nikmat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Nikmat ini mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus, penuh kejelasan, dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.

Al-Qur’an banyak sekali membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan binatang tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi (Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-Anfal: 55, Al-Maidah: 60). Diumpamakan juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (Al-Mulk: 22), buta dan tuli (Al-Maidah: 71), jatuh dari langit dan disambar burung (Al-Hajj: 31) kayu yang tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan lainnya.

Pertolongan (An-Nashr)

Ada satu bentuk kenikmatan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman disebabkan mereka komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Pertolongan Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf), pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan Allah yang lain (Al-Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-Nuur: 55).

Segala bentuk kenikmatan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.

Rukun Syukur

Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.

Al-I’tiraaf

Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)

Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)

Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin lebih parah lagi.

I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.

At-Tahadduts

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)

Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”

Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.

Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”

Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.

At-Tha’ah

Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)

Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).

Tambahan Nikmat

Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Selengkapnya...

Senin, Februari 16, 2009

Sifat Rasulullah Menurut Al-Qur’an

Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyampaikan dua buah hadits tentang kecintaan kepada Rasulullah saw. Pertama, hadits yang masyhur diriwayatkan dalam kitab-kitab ahli sunnah, di antaranya dalam Al-Targhib wal Takhib, sebuah kitab hadits yang sangat populer di antara kita. Kedua, hadits yang dikutip dari Bihar Al-Anwar, kitab hadits yang cukup besar dan menjadi rujukan mazhab Ahlul Bayt.

Hadits yang pertama menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda datang mendekati Rasul sambil berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu Rasulullah saw berkata: “Kalau begitu, bunuh bapakmu!” Pemuda itu pergi untuk melaksanakan perintah Nabi. Kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa.” Aku hanya ingin tahu, apa betul kamu mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya?”

Tidak lama setelah itu, pemuda ini jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah saw datang menjenguknya. Namun pemuda itu masih dalam keadaan tidak sadar. Nabi berkata, “Nanti kalau anak muda ini bangun, beritahu aku.” Rasululah saw kemudian kembali ke tempatnya. Lewat tengah malam pemuda itu bangun. Yang pertama kali ia tanyakan ialah apakah Rasulullah saw telah berkunjung kepadanya. Diceritakanlah kepada pemuda itu bahwa Rasulullah saw bukan saja berkunjung, tapi beliau juga berpesan agar diberitahu jika pemuda itu bangun. Pemuda itu berkata, “Tidak, jangan beritahukan Rasulullah saw. Bila Rasulullah harus pergi pada malam seperti ini, aku kuatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.” Segera setelah itu, pemuda itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Pagi hari usai shalat subuh, Rasulullah saw diberitahu tentang kematian pemuda itu. Rasul datang melayat jenazah pemuda itu dan berdo’a dengan do’a yang pendek tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu, Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.”

Dengan hal itu Nabi menggambarkan kepada kita, bahwa orang yang mencintainya akan dido’akan oleh Nabi untuk berjumpa dengan Allah swt. Allah akan ridha kepadanya dan dia ridha kepada Allah, Radhiyyatan Mardhiyyah. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya.

Hadits yang kedua mengisahkan seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali dia hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah saw. Dia selalu singgah di tempat itu sampai dia puas memandang wajah Rasul. Setelah itu ia pergi ke pasar. Suatu saatetelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya ia pergi ke pasar. Tapi tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga bertanya, “Kenapa kau balik lagi?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah saya sampai di pasar hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang Engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan orang itu.

Tidak lama setelah itu Nabi tidak lagi melihat tukang minyak itu lewat di depan rumahnya. Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah saw. Lalu Rasul mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjenguk dia. Berangkatlah mereka ke pasar dan mendapat kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah saw.

Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja, orang ini senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.” Tetapi orang itu sangat jujur dan kecintaannya kepada Rasul dibuktikan dalam kejujurannya di dalam berdagang.

Dua hadits di atas menceritakan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah saw. Sudah sering kita mendengar hadits yang berbunyi, “Belum beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh ummat manusia.”

Kita semua diperintahkan mencintai Rasulullah saw. Mencintai Rasul merupakan bagian dari seluruh bangunan keislaman kita. Oleh karena itu, dahulu para ulama melakukan berbagai cara agar kecintaan kepada Nabi terus-menerus dibangkitkan. Di antaranya dengan menghias majelis-majelis mereka dengan bacaan shalawat, mengadakan peringatan maulid, dan mengungkapkan kecintaan mereka dengan puisi-puisi, sehingga sepanjang sejarah sudah terkumpul ribuan puisi yang ditulis untuk mengungkapkan kecintaan kepada Rasululah saw.

Beberapa waktu yang lalu di masjid Asy-Syifâ, Universitas Diponegoro, saya mengajak semua orang untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Ada orang yang bertanya kepada saya: “Saya ingin mencintai Rasulullah, tapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya. Kalau saya ini mencintai seorang perempuan, saya bayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasululah saw, supaya saya bisa men-cintainya?” Waktu itu saya menjawab: “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini. Kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka hanya mencintai yang zhahir saja, mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang bathiniyah.

Jadi, kalau kita mau mencintai, maka cinta kita hanya cinta fisikal saja, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Di dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan, cinta pertama pada anak-anak adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihat. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusu kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa orang itu, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.

Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah bila kita mencintai sesuatu, itu dikarenakan oleh hal-hal yang kongkret dan bisa dilihat. Kita cinta kepada gunung, karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejukkan anginnya yang bisa dirasakan. Bukan karena keanggunannya dan misteri yang ada dibalik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut, yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya. Tidak kita ceritakan keluasan samudera itu, kedahsyatannya, dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Sebab, semua hal itu terlalu abstrak dan kita terbiasa dengan hal-hal yang kongkret.

Ketika Pemilu, kita memilih partai bukan program-programnya. Karena program bersifat abstrak, tidak kelihatan. Kita jugamemilih bukan karena perilaku para politisinya, karena perilaku itu tidak kelihatan.

Tapi saya tidak akan menceritakan hal itu, saya akan membawa Anda mencintai Rasulullah saw dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya. Bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah itu adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa seperti kita.

Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, ketika Allah berkisah tentang Rasulullah saw, tidak pernah diceritakan sifat-sifat jasmaniah Rasulullah saw. Al-Qur’an selalu menceritakan sifat-sifat ruhaniah Rasulullah saw. Bercerita tentang akhlak Rasulullah saw, bukan penampilan fisiknya.

Berbeda dengan para sahabat. Kalau sahabat bercerita tentang Rasulullah saw sering berupa penampilan fisiknya. Misalnya diceritakan bahwa Rasul itu kalau tertawa sampai kelihatan gusinya. Atau diceritakan tentang tetesan keringat Rasul. Siti Aisyah pernah terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, sampai dia berkata: “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu Siti Aisyah menuliskan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringatnya. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Siti Aisyah hanya mencintai Rasulullah saw karena jasmaninya.

Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Qur’an. Ada riwayat yang agak lucu tentang ayat ini. Katanya setelah Al-Qur’an terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang berkata bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpul-kan ayat harus membawa saksi satu orang. Sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “Ada yang terlewat, satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Qur’an ini.”

Lepas dari persoalan hadits ini shahih atu tidak, ayat itu bercerita tentang akhlak Rasullullah saw dan ayat itu sering menjadi wirid kita semua. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad Jâ’akum Rasûlum Min Anfusikum…” (QS Al-Taubah 128). Menurut Fakhrur Râzi, kata anfusikum menurut qira’at nabi saw, qira’at Fatimah as, dan qira’at Aisyah dari Ibnu Abbas as harus dibaca Anfasikum. Dibacanya difathahkan bukan didhammahkan. Hal ini akan kita ceritakan kemudian.

Fakhrur Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surat At-Taubah ayat 128. Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.

Dalam qira’at Min Anfasikum, diterangkan bahwa kata Anfas mengandung arti yang paling mulia. Jadi ayat ini berarti, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.

Sifat kedua Nabi ialah, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat yang lain, yang diartikan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.

Jalaluddin Rumi bercerita dalam salah satu syairnya yang dibukukan dalam Al-Matsnawi tentang Rasulullah saw. Pada suatu hari di mesjid, Rasul kedatangan serombongan kafir yang meminta untuk bertamu. Mereka berkata, “Kami ini datang dari jarak yang jauh, kami ingin bertamu kepada Engkau, Ya Rasulullah.” Lalu Rasul mengantarkan para tamu tersebut kepada para sahabatnya. Salah seorang kafir yang bertubuh besar seperti raksasa tertinggal di mesjid, karena tidak ada seorang sahabat pun yang mau menerimanya. Dalam syair itu disebutkan, ia tertinggal di mesjid seperti tertinggalnya ampas di dalam gelas. Mungkin para sahabat takut menjamu dia, karena membayangkan harus menyediakan wadah yang sangat besar.

Lalu Rasul membawa dan menempatkannya di sebuah rumah. Dia diberi jamuan susu dengan mendatangkan tiga ekor kambing dan seluruh susu itu habis diminumnya. Dia juga menghabiskan makanan untuk delapan belas orang, sampai orang yang ditugaskan melayani dia jengkel. Akhirnya petugas itu menguncinya di dalam. Tengah malam, orang kafir itu menderita sakit perut. Dia hendak membuka pintu tapi pintu itu terkunci. Ketika rasa sakit tidak tertahankan lagi, akhirnya orang itu mengeluarkan kotoran di rumah itu.

Setelah itu, ia merasa malu dan terhina. Seluruh perasaan bergolak dalam pikirannya. Dia menunggu sampai menjelang subuh dan berharap ada orang yang akan membukakan pintu. Pada saat subuh dia mendengar pintu itu terbuka, segera saja dia lari keluar. Yang membuka pintu itu adalah Rasulullah saw.

Rasul tahu apa yang terjadi kepada orang kafir itu. Ketika Rasul membuka pintu itu, Rasul sengaja bersembunyi agar orang kafir itu tidak merasa malu untuk meninggalkan tempat tersebut.

Ketika orang kafir itu sudah pergi jauh, dia teringat bahwa azimatnya tertinggal di rumah itu. Jalaluddin Rumi berkata, “Kerasukan mengalahkan rasa malunya. Keinginan untuk memperoleh barang yang berharga menghilangkan rasa malunya.” Akhirnya dia kembali ke rumah itu.

Sementara itu, seorang sahabat membawa tikar yang dikotori oleh orang kafir itu kepada Rasul, “Ya Rasulullah, lihat apa yang dilakukan oleh orang kafir itu!” Kemudian Rasul berkata, “Ambilkan wadah, biar aku bersihkan.” Para sahabat meloncat dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau adalah Sayyidul Anâm. Tanpa engkau tidak akan diciptakan seluruh alam semesta ini. Biarlah kami yang membersihkan kotoran ini. Tidak layak tangan yang mulia seperti tanganmu membersihkan kotoran ini.” “Tidak,” kata Rasul, “ini adalah kehormatan bagiku.” Para sahabat berkata, “Wahai Nabi yang namanya dijadikan sumpah kehormatan oleh Allah, kami ini diciptakan untuk berkhidmat kepadamu. Kalau engkau melakukan ini, maka apalah artinya kami ini.”

Begitu orang kafir itu datang ke tempat itu, dia melihat tangan Rasulullah saw yang mulia sedang membersihkan kotoran yang ditinggalkannya. Orang kafir tidak sanggup menahan emosinya. Ia memukul-mukul kepalanya sambil berkata, “Hai kepala yang tidak memiliki pengetahuan.” Dia memukul-mukul dadanya sambil berkata, “Hai hati yang tidak pernah memperoleh berkas cahaya.” Dia bergetar ketakutan menahan rasa malu yang luar biasa. Kemudi-an Rasul menepuk bahunya menenangkan dia. Singkat cerita, orang kafir itu masuk Islam.

Boleh jadi cerita Jalaluddin Rumi ini adalah sebuah metafora. Suatu perlambang bahwa kedatangan Rasul adalah untuk membersihkan kotoran dan noda-noda yang ada pada diri kita. Betapa banyaknya kaum muslimin menodai rumah Rasul dengan kemaksiatan dan akhlak yang buruk. Kita ini sama dengan orang kafir yang menaburkan kotoran di rumah Rasul yang suci. Bedanya ialah, kita percaya karena kecintaan Nabi kepada kita, Rasul akan mengulurkan syafaatnya kepada kita. Derita kita adalah juga derita Rasul. Karena itu, jangan ragu-ragu untuk datang meminta syafaatnya dan bersimpuh di hadapan Nabi sambil mengucapkan, “Yâ Abal Qâsim, Yâ Rasûlallâh, Yâ Wajîhan ‘Indallâh, Isyfa’lanâ ‘Indallâh.”

Terlalu banyak kotoran yang kita taburkan di rumah Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdo’a: “Ya Allah kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti, jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Musthafa. Karena aku malu mengaku sebagai umatnya padahal hidupku bergelimang dalam dosa.”

Kita sebenarnya harus malu seperti malunya orang kafir itu. Kita datang berziarah kepada Rasul di bulan Maulid ini dengan membawa seluruh kemaksiatan. Kita sudah banyak mengotori rumah Rasul yang mulia dengan akhlak yang tercela. Tapi kita percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita sadari kejelekan akhlak-akhlak kita dan kita malu bertemu dengan Rasul dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menentramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.

Sifat ketiga Rasullullah saw, ialah bahwa ia sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan. Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.

Adapun sifat keempat Rasulullah saw, ialah bahwa ia sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukminin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.

Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.

Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.

Di dalam Tafsir Al-Dûrrul Mantsûr, diriwayatkan sebagai berikut, “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menye-butnya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.

Saya akan menceritakan hadits lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”

Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.

Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.

Marilah kita kenang kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sudah sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuh-kan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?

Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Akhirul kalam, yang harus selalu kita ingatkan pada diri kita adalah misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak yang mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita, sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak buruk kita.
KH. Jalaluddin Rakhmat
Selengkapnya...

Love

Sebuah kata yang banyak dibicarakan, namun tidak mudah untuk mendefinisikan apa itu hakikat cinta sebenarnya, sebenarnya ini postingan dulu di www.amza.cjb.net yang diambil dari berbagai sumber buku, artikel, bahkan lagu sekalipun :)  dimana dulu sedang dalam proses pencarian cinta sejati, sebenarnya sampai sekarang ding.. masih mencoba untuk meresapi, memaknai dan berjalan diatasnya yaitu cinta dalam bentuk pengabdian kepada Yang Maha memiliki cinta dan Yang Maha Abadi, seperti disampaikan Ibnu Qayyim Al jauziah "cinta akan lenyap dengan lenyapnya sebab", cinta yang sejati dan abadi memerlukan sebab yang abadi pula yaitu cinta kepada Allah SWT.

Andai di dunia ini tidak ada cinta, maka hidup akan serasa gersang, hampa dan tidak ada dinamika. Cinta bisa membuat sesuatu yang berat menjadi ringan, yang sulit menjadi sederhana, permusuhan menjadi perdamaian dan yang jauh menjadi dekat. Itulah gambaran kekuatan cinta. 

Cinta, ditilik dari sudut manapun selalu menarik untuk dibahas. Sejarah mencatat, sejumlah seniman, teolog sampai filosop membicarakan cinta dari berbagai perspektifnya baik dalam bentuk roman, puisi, syair bahkan sampai dalam bentuk tulisan ilmiah yang bernuansa teologis, fenomenologis, psikologis ataupun sosiologis. 
Filosop sekaliber Plato bahkan pernah mengatakan “Siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan dalam gelap gulita”. Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian Plato pada masalah cinta, sampai-sampai dia menyebut orang yang tidak tertarik untuk membicarakannya sebagai orang yang berjalan dalam kegelapan.
Peranan cinta dalam kehidupan tidak diragukan lagi pentingnya. Cinta diyakini sebagai dasar dari perdamaian, keharmonisan, ketentraman, kebahagiaan bahkan kebangkitan peradaban. Namun apa sesungguhnya cinta itu ? 
Diakui, problem yang dihadapi saat membicarakan cinta biasanya adalah persoalan definisi. Belum pernah ditemui suatu rumusan tentang cinta yang singkat, padat dan mewakili pemahaman akan hakikat cinta secara tepat.[Aam amiruddin]

Jalauddin Rumi pernah mengatakan bahwa cinta itu misteri, tidak ada kata-kata yang bisa mewakili kedalamannya. 
Cinta tak dapat termuat dalam pembicaraan atau pendengaran kita,
Cinta adalah sebuah samudera yang kedalamannya tak terukur …
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan, 
buku-buku dan lembaran-lembaran halaman. 
Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pecinta.
Apapun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya;
Intisari cinta adalah misteri yang tak dapat kau buka !
Cukuplah ! Berapa banyak lagi kau akan lengketkan kata-kata di lidahmu ? 
Cinta memiliki banyak pernyataan melampaui pembicaraan. . . 

Apakah seseorang bisa menghindar dari cinta?tanya orang-orang pada Abu Naufal, seorang ulama.
“Bisa!” jawabnya. “yaitu orang yang hatinya keras dan bodoh, yang tidak memiliki keutamaan dan pemahaman”. Ali bin Abdah berkata, “tak mungkin seorang menghindar dari cinta, kecuali orang yang kasar perangainya, kurang waras, atau tidak mempunyai gairah”. Ya, Cuma orang-orang yang keras hatilah yang nggak bakal bisa mendapatkan cinta dan kasih sayang. Adanya perasaan mencintai dan menyayangi sesama manusia bukan saja bagian dari fitrah manusia, tapi juga bukti masih melekatnya kasih sayang dan rahmat dari Allah swt.
Orang-orang yang saling mencintai karena Allah berbagi kebahagiaan dengan orang yang dicintainya. Bahkan ia rela mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan saudaranya. Rasulullah saw. Bersabda, “ Tidaklah saling mencintai dua orang dalam agama Allah ta’ala kecuali yang paling afdhal diantara keduanya adalah yang paling besar cintanya pada sahabatnya”.(HR Bukhari)
Seorang yang mencintai orang lain juga akan senang apabila orang yang dicintainya mendapat kebahagiaan, dan ikut bersedih ketika orang itu mendapat musibah. Oleh karena itu, beruntunglah kita yang sedang dicintai orang lain dan tengah mencintai orang lain. Rasulullah saw. Bersabda, “ Sesungguhnya yang terdekat dariku diantara kamu duduknya adalah yang terbaik akhlaknya diantara kamu dan merendahkan diri, yang mencintai dan dicintai”.Sesungguhnya banyak yang akan kita dapatkan dari cinta itu, tentu saja cintailah orang lain karena Allah dan mengikuti syariat-Nya.
Menurut Muhidin M. Dahlan dalam bukunya ‘Mencari Cinta’ membagi cinta dalam empat kategori yakni :
1. Cinta erotis(erotic love), jika seseorang pemuja erotisme, maka cinta baginya tak lain adalah sudah berapa perempuan yang dikencani, sudah berapa jenis pinggul yang digauli dan lain-lain. Bagi para pemilik cinta erotis, cinta adalah aktivitas seks. Seseorang dicintai sejauh ia dapat memenuhi kenikmatan seksual. dalam hal ini, cinta dilihat sebagai suatu “ perbuatan biologis atau fisiologis”. Kalau kita mencintai pasangan kita, berdasarkan karena ia masih muda, cantik dan ototnya masih padat-pejal, hanya sekedar itu, maka cinta kita adalah cinta erotis/cinta seksual. Cinta erotis adalah cinta yang labil-posesif atau yang biasa disebut cinta monyet atau puppy love. Cinta ini banyak menjangkiti remaja-remaja tanggung (anak-anak tidak, dewasa juga tidak), cinta yang hanya sebatas permainan saja, cinta yang kekanak-kanakan. Cinta semacam ini umumnya tidak bertahan lama karena afeksi mereka yang labil-posesif cenderung berpindah-pindah dari satu orang ke orang yang lain.
2. Cinta Rasional, bila ia seorang yang suka berfilsafat dan selalu mengagungkan akal budi, maka cinta baginya tak lain adalah kesatuan relasi-relasi abstraktif yang bisa dipersepsi oleh nalar. Maka cinta pun berbentuk sangat material dan terindra sifatnya. Mereka menyebut apresiasi terhadap keindahan sebagai bentuk cinta yang merupakan perpaduan jiwa dan akal. Dan yang penting bisa diteorisasikan dalam sekumpulan dogma moral. Orang sering menyebut cinta ini sebagai cinta platonis. Bila kita appeal ke rumah “kekasih” saban sabtu sore, dan kesempatan itu hanya dihabiskan berdiskusi tentang ragam teori akademis dan seabrek-abrek masalah psikologi dan ideologi yang merentang dari A-Z, mungkin kita salah satu penganut aliran cinta ini. Cinta jenis ini masih tergolong cinta yang egosentris. Alih-alih menteorisasikan cintanya dengan setanggul-tanggul untaian filosofi, sesungguhnya pembenarannya ditujukan untuk pemuasan intelektualnya sendiri.
3. Cinta Romantis/Flamboyan, cinta tidak hanya dipikirkan, tapi juga dirasakan. Inilah jenis cinta romantis atau flamboyan. Bila ia seorang romantis, maka cinta tak ubahnya adalah untaian bait-bait puisi yang menepuk-nepuk jiwa yang sedang dilanda perindu. Cinta adalah milik rasa dan hanya rasa. Hampir sebagian besar orang memegang aliran cinta ini, apalagi yang berdarah muda. Dapat dilihat ketika mereka pertama kali mencintai, tepatnya pacaran atau yang baru saja putus pacar, maka saat itu juga ia tiba-tiba berubah menjadi pujangga(amatiran), mengubah kepedihan menjadi barisan kata indah menyayat-nyayat. Menurut John powell, kalau cinta adalah perasaan, maka cinta itu dapat berubah-ubah. Perasaan manusia tidak stabil, tapi selalu berubah-ubah(labil-posesif), cinta yang berubah pertanda ketaksetiaan. Cinta romantis ini kerap disematkan pada cinta para remaja, bagi mereka cinta adalah perasaan tanpa ada ikatan keputusan dan komitmen, cinta tidak atau belum diikat oleh sebuah ikatan permanen. Maka mereka bebas dan liarnya mencari-cari alias gonta-ganti pasangan, yang selalu “memperdagangkan” rasa kepada siapa saja yang mau dan berselera.
4. Cinta Religius/Agape, kasih yang sejati terkadang tidak memerlukan romantisme. Terkadang romantisme hanya menyela kita untuk lari dari medan realitas. Cinta ini bukan sekedar imbuh-imbuh romantisme. Inilah cinta religius. Bila kita seorang religius, maka cinta adalah sebentuk ritus penyerahan diri total kepada Sang Kekasih Allah swt. Tanpa dalih, tanpa keluh. Cinta ini telah melampaui cinta yang membaluti “tubuh”, cinta yang memuja akal dan cinta yang merapalkan rasa. Hampir penganut falsafah cinta ini, bebas menari di semesta nilai dan alam kesadaran yang tanpa batas dan tanpa harus terganggu oleh batas ideologi, agama, ras dan geografis. Cinta jenis ini merangkul semuanya. “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah. Ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.(QS Ali Imran : 31). Ikutilah Aku pada ayat ini adalah mengikuti Rasulullah saw, dimana seberapa taat kita dalam mengamalkan aturan Allah yang diwahyukan pada Rasulullah saw. dalam kitab suci Al Qur’an. Rabiah al-Adawiah adalah contoh kecintaan dan kerinduan kepada Allah yang sudah sampai pada tahap “spiritual/love of trance”(mabuk cinta). Dimana pada tahapan ini, kata-kata tiada lagi berarti. Adakah yang lebih indah dari Cinta dan Kebenaran maka memerlukan kata-kata yang indah?bahkan kalaupun ada yang terucap, kata-kata itu pasti di luar logika bahasa yang lazim. Ia meluncurkan kata-kata puitis yang dahsyat keluar dari mulutnya yang suci. “Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku kedalam neraka itu, dan besarkan tubuhku di neraka itu sehingga tidak ada tempat lagi di neraka itu buat hamba-hamba-Mu yang lain. Kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surga-Mu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Bagiku Engkau saja sudah cukup”.

Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, dihiasi dengan cinta dan kasih sayang yang memperhalus hati, memperindah kehidupan. Tetapi cinta ini pula yang tak jarang membuat orang dililit nestapa, duka, lara bahkan berperilaku hina dan nista. Cinta manakah yang benar-benar membawa berkah? Cinta yang membawa berkah adalah cinta yang dibalut karena hati takut kepada Allah semata. Cinta yang membawa nista adalah cinta yang berbaur hanya dengan nafsu syahwat belaka. Keindahan cinta akan terasa jikalau ijab qabul menjadi pengokoh cinta dijalan yang Allah ridhoi.

Erich fromm, murid kesayangannya Sigmund Freud menyebutkan empat unsur yang harus ada dalam cinta, yaitu :
1. Care (perhatian). Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesehatan dan kebersihan diri. Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya. Kalau kita mencintai Allah Swt., maka kita akan memperhatikan apa saja yang Allah ridhai dan yang dimurkai-Nya.
2. Responsibility (tanggung jawab). Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab akan kemajuan perusahaannya. Orang yang mencintai Tuhannya, akan bertanggung jawab untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itulah Responsibility. 
3. Respect (hormat). Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai, kelebihannya kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki. Tidak bersikap sewenang-wenang dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. 
4. Knowledge (pengetahuan). Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Kalau kita mencintai seorang wanita atau pria untuk dijadikan isteri atau suami, maka kita harus berusaha memahami kepribadian, latar belakang keluarga, minat, dan ketaatan beragamanya. Kalau kita mencintai Tuhan, maka harus berusaha memahami ajaran-ajaran-Nya. 

Kalau empat unsur ini ada dalam kehidupan kita, Insya Allah hidup ini akan bermakna. Apapun yang kita lakukan, kalau berbasiskan cinta pasti akan terasa ringan. Karena itu nabi Saw pernah bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang kalau dia belum mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”. “ Cintai oleh mu mahluk yang ada di muka bumi, pasti Allah akan mencintaimu”. (HR. Muslim)
Supremasi kebahagiaan tertinggi, kalau kita mampu mencintai orang lain dengan tulus tanpa pamrih, mencintai diri sendiri secara proporsional, mencintai Allah Swt dengan penuh loyalitas dan selalu merasa dincintai-Nya. Inginkah hidup kita bermakna ? Let Love be Your Energy !
True love never grows old
Old love does not rust.

Selengkapnya...