Sebagaimana diutarakan HHM, dalam budaya Sunda terdapat berbagai istilah dan pribahasa yang muncul dalam masyarakat terkait ibadah puasa Ramadhan, seperti istilah: munggah puasa, buka puasa, bocor, dan lebaran; atau pribahasa: mepeg Rewah munggah puasa, nu puasa nu teu unggah kana seliran, dan lain-lain. Berikut adalah beberapa makna yang terkandung didalamnya, yang disarikan dari: Mertelakeun Basa jeung Istilahna, oleh Haji Hasan Mustapa.
***
(1)
Ada sebuah pribahasa terkenal: mepeg Rewah munggah puasa, yang berarti "menutup (bulan) Syaban, munggah (naik ke bulan) Ramadhan". Istilah "munggah" hanya dikenal untuk dua hal: puasa dan haji, yang mengandung arti esok lebih tinggi dari sekarang. Maknanya adalah: munggah dalam pengabdian.
Itu sebabnya puasa itu berat bagi orang yang hendak berpuasa, tetapi ringan bagi orang yang hendak mengabdi semata. Pribahasanya: nu puasa nu teu unggah kana seliran.
Istilah lain yang biasa diucapkan menjelang Ramadhan adalah "isukan mepet". Artinya: besok (puasa) akan menyumbat panca indera, serta menahan syahwat dan hawa-nafsu. Kata orang Jawa: megeng atau megung nafsu yang sering lepas.
(2)
Umumnya kita mengisi malam puasa dengan tarawih, juga tadarus semalaman karena mengharapkan katinggang Lailatul-Qadar. Disebut "katinggang" (tertimpa), sebab Al-Quran sendiri mengatakan Lailatul-Qadar itu "turun" atau "jatuh": inna anzalnaahu fi lailatil-qadri (QS.97:1). Maksud ayat ini adalah: (alam) akhirat turun ke dunia.
(3)
Kalau waktu surup panon poe (tenggelamnya matahari, maghrib) anehnya disebut "buka", bukan "tutup". Istilah ini mengandung arti bahwa puasa bukan suatu tindakan--yang harus ditutup--tetapi sebuah proses terbukanya pintu pengenalan Ilahiah manakala mencapai surup. Bukan surupnya matahari, tetapi surup kalbu dalam dalam tata-ibadah puasa.
Bila kalbu telah surup, akan ditandai dengan munculnya balungbang Timur, terbitnya purnama opat belas. Perlambang dari bersihnya hati dan terbitnya purnama pengabdian yang tanpa noda (hati yang suci dilambangkan sebagai purnama empat-belas, red).
(4)
Menjelang lebaran, ada suatu kewajiban yang disebut sebagai mayar fitrah; tanda bahwa bila berhasil puasa maka orang akan kembali dalam keadaan suci; dan turun (keluar dari Ramadhan, kebalikan dari munggah) dengan kelebihan bekal atau pahala.
(5)
Istilah untuk orang yang batal berpuasa disebut "bocor", ibarat perahu yang airnya merembes masuk. Pada saat berpuasa pun kita pun dilarang mendekati istri, seperti perahu bocor digedor-gedor. Demikian sisindirannya:
Keur ngagelar masamoan jeung dunungan, ulah lukak-jalingkak cara keur ngencar; sumawona petingan walilat. Artinya: "saat menggelar perjamuan dengan Tuhan, jagalah sikap (jangan seperti binatang liar); terlebih pada malam Takbiran" (tradisi tua melarang berhubungan intim di malam takbiran, malam suci penuh keagungan, red).
Bahwa menahan syahwat dan hawa nafsu harus berlanjut hingga malam Takbiran, dan kita tidak boleh dipusingkan dengan urusan Lebaran. Sementara tradisi saat ini justru menjadikan Lebaran sebagai hari pesta--ketimbang hari penyucian--dan sibuk dengan berbagai acara mudik, baju baru dan kue Lebaran.
(6)
Selepas Ramadhan datanglah lebaran. Ada yang memaknainya sebagai "bubaran dari dosa", "lebaran dari dosa", atau "lebaran dari kerugian". Dalam bahasa Arab biasa disebut "yaumul-ied" atau "iedul-ftri", bermakna: kembali kepada Tuhan atau kembali kepada kesucian.
(7)
Karena itu nasihat agama mengatakan: "yang sedang berpuasa hendaknya menjauh pertengkaran; karena pertengkaran dekat dengan amarah, dekat dengan api nafsu". Sebagaimana sebuah pribahasa: "nu puasa cilaka ku amarahna", artinya "yang puasa celaka karena amarahnya"--bagaimana kalau yang tidak puasa? tentu celaka karena dosanya. Nasihat ini bermaksud agar kita hendaknya menjauhi apa-apa yang dapat menyimpangkan manusia dari jalan taubat.
(8)
Siloka: yang mati di bulan puasa tidak akan disiksa dan dihisab. Siloka ini adalah bagi orang yang sudah surup (mati) dalam puasa dan matang puasanya; yang ditandai dengan hilangnya iri-dengki dan tanggalnya cinta dunia. Tidak disiksa? sebab apa dosanya. Tidak dihisab? sebab apa yang harus dihisabnya—orang dihisab bila mati membawa urusan yang tidak hak bagi dirinya.
Lagi pula, bukan mati sembarang mati, tetapi mereka yang telah eling jatnika-nya (mengenal diri). Kita gembira kalau bisa mati di bulan puasa, sebab merasa banyak dosa; gembira tidak dihisab, sebab merasa banyak hutang--dan hutang terbesar adalah kepada Tuhan.
(9)
Sudah umum diketahui bahwa pada saat bulan puasa setan-setan dipenjara dan malaikat berduyun-duyun membuka pintu surga--sebagaimana bunyi sebuah hadits. Banyak orang gembira mendengarnya; tetapi itu pertanda tidak mengerti, tidak paham hakikat agama.
Hanya bagi yang matang puasanya dan telah terkunci gerbang nafsu dan amarahnya, siloka ini berlaku. Bagi mereka buahnya adalah: jurig nyingkir setan nyingkah, akrab jeung malaekat nu teu boga napsu. Kapan setan berkeliaran lagi? nanti bada maghrib, setan keluar dari sarangnya seperti kelelawar. Tetapi barangsiapa yang kuat mengunci pintu rumahnya, merekalah pemilik siloka ini dan akan senantiasa terjaga meski berada di luar Ramadhan.
***
Nilai suatu ibadah tergantung dari yang mengolahnya, yang menjalaninya. Seperti pribahasa: Nu alus arihna, akeulna tangtu lewih alus, lewih pulen. Sekalipun puasa seumur hidup atau menjalani puasa Ramadhan berkali-kali, bila tidak bagus arihna maka tidak akan matang buahnya.
Minggu, Agustus 23, 2009
Puasa: Istilah dan Maknanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar