Wahai Anakku, simaklah bagian dari nasihat Rosulullaah Saw ini:
“Tanda-tanda kebencian Allaah terhadap seseorang ialah, apabila ia menyia-nyiakan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Apabila umur seseorang berlalu, tetapi ia tidak menggunakannya untuk melakukan ibadah yang diperintahkan Allaah, maka pantas baginya menyesal sepanjang masa. Barang siapa yang telah berumur lebih empat puluh tahun sedangkan amalnya belum mengalahkan kemaksiatannya, maka hendaklah ia bersiaga masuk ke neraka.”
“Perhitungkanlah dirimu sebelum amalmu diperhitungkan. Dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang di hari kiamat kelak.”
Kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a:
“Barang siapa berprasangka bahwa tanpa bersusah payah ia dapat mencapai surga, maka ia bagaikan mimpi di siang bolong. Barang siapa berprasangka bahwa semata-mata dengan menggunakan kecakapan dan kekuatan ia dapat mencapai sesuatu, maka berarti ia sudah tidak membutuhkan Allah.”
Rasulullaah Saw bersabda:
“Orang pandai ialah orang yang mengetahui dirinya, dan beramal untuk bekal sesudah mati. Dan orang yang bodoh ialah orang yang memperturutkan kehendak hawa nafsunya dan selalu berangan-angan kosong terhadap kemurahan Tuhan.”
Wahai Anakku,
Ada empat perkara yang harus dipenuhi bila kamu ingin mencapai keutamaan, yaitu:
1. Itikad yang benar, yang tidak dicampur dengan bid’ah
2. Tobat yang sungguh-sungguh, dengan mengunci mati semua kemungkinan kemaksiatan
3. Meminta keridlo’an semua lawan dan musuh, sehingga tidak ada lagi beban yang ditanggung terhadap hak-hak orang lain.
4. Mempelajari ilmu dunia dengan tujuan hanya untuk memperlancar perintah Allaah, dan mempelajari ilmu akhirat yang dapat menyelamatkan dirimu dari mara bahaya dan siksa api neraka
Sybli berkata, “Aku telah membaca dan menelaah empat ribu hadits. Sesudah itu, aku pilih satu hadits saja untuk diamalkan. Yang selebihnya aku tinggalkan. Sebab setelah kupertimbangkan, keselamatanku berada dalam kandungan satu hadits itu. Ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang pun terkandung di dalamnya. Maka rasanya cukuplah bagiku mengamalkan hadits itu.
Hadits yang dimaksud oleh Sybli ialah ketika Rosulullaah Saw bersabda, yang artinya:”Beramallah untuk duniamu menurut kadar hidup kamu di dalamnya. Beramallah untuk akhiratmu menurut kadar kamu kekal di dalamnya. Dan beramallah untuk Allaah sesuai dengan kebutuhanmu kepada-Nya. Serta beramallah untuk neraka hidup kamu sasuai dengan kemampuanya menerima siksa.”
Wahai Anakku,
Jika kamu menghayati kandungan hadits di atas, tentu dirimu tidak lagi membutuhkan lagi ilmu pengetahuan yang bertumpuk. Dan renungkanlah sebuah hikayat berikut di bawah ini.
Hatim al- Asham adalah satu diantara murid dan sahabat Syaqiq al-Balkhi. Pada suatu ketika, Syaqiq bertanya kepada Hatim, “Wahai Hatim, sudah tiga puluh tahun saya mengajari engkau dan kita juga bersahabat. Apa yang telah engkau peroleh selama ini?”
Hatim menjawab, “Telah aku peroleh delapan ilmu pengetahuan yag sangat berfaedah. Inilah yang mencukupi diriku untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Aku berharap keselamatan dan kebahagiaan itu berada di dalamnya.”
Syaqiqi bertanya, “Apa itu ya sahabatku?” Maka Haltim menjawab:
Pertama,
Aku puas mengamati berbagai macam makhluk. Aku lihat mereka masing-masing mempunyai kekasih sebagai tambatan hatinya. Sebagian dari mereka, ada yang didampingi kekasihnya hanya sampai menjelang ajal/kematiannya. Ada juga yang mendampingi sampai ke liang kuburnya. Namun sesudah itu, semuanya kembali meninggalkannya sendiri di kuburan. Tidak seorang pun yang bersedia menemaninya masuk ke liang kubur.
Setelah melihat kejadian itu, terbersitlah dalam pikiranku: “Kekasih yang paling utama ialah yang menyertai seseorang masuk ke liang kubur dan memberikan hiburan di dalamnya. Hal ini hanya aku temui dalam amal shalih. Oleh karena itu, amal shalih aku jadikan sebagai kekasih, agar kelak bisa menjadi pelita dalam kuburku, menghibur dan tidak meninggalkanku seorang diri.”
Kedua,
Aku lihat kebanyakan manusia hanya mengikuti dan memperturutkan kehendak hawa nafsunya saja untuk memenuhi segala keinginannya. Terhadap hal ini, aku camkan firman Allaah Swt yang mengatakan:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Robnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (Q. S. An- Naaziaat: 40-41)
Aku yakin, al-Qur’an pasti benar. Oleh karena itu, aku bersegera melawan kehendak hawa nafsuku. Aku bersedia berjihad mengendalikan hawa nafsuku. Aku berusaha menolak segala keinginanku yang liar sampai tunduk menyerah dan berlutut ta’at kepada Allaah Swt.
Ketiga
Aku lihat setiap orang membanting tulang untuk memperoleh dan menumpuk harta kekayaan dunia. Mereka membelanjakannya dengan hemat, bahkan amat kikir. Maka aku lantunkan pkiran dan hatiku pada firman Allaah Swt yang artinya:
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang di sisi Allaah adalah kekal” (QS. An-Nahl: 96)
Oleh karena itu, aku segera keluarkan harta simpananku selama ini untuk mencari ridla Allah. Aku sedekahkan kepada fakir miskin dan untuk jihad fii sabilillaah, agar kelak menjadi simpanan di sisi Allah Swt.
Keempat,
Aku melihat sebagian manusia mengira bahwa kemuliaan dan ketinggian derajatnya ditentukan oleh banyaknya kerabat dan keluarga. Mereka merasa megah dan bangga bila memiliki kerabat yang banyak.
Sebagian dari mereka ada pula yang beranggapan bahwa kemuliaan dan ketinggian martabat terletak pada banyaknya harta dan anak. Dengan kekayaan itu mereka menyombongkan diri. Sebagian yang lain berannggapan bahwa kemuliaan dan ketinggian martabat berada pada perilaku yang zalim, keserakahan, dan pertumpahan darah sesama manusia. Bahkan ada pula yang berkeyakinan bahwa kemuliaan dan ketinggian derajat /martabat terletak pada keborosan, pesta pora, dan menghambur-hamburkan harta benda.
Melihat itu, kurenungkan firman Allaah yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allaah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Oleh karena itu kupilih taqwa sebagai suatu kemuliaan dan ketinggian martabat. Aku yakin yang diketengahkan Qur’an itu sangatlah benar. Anggapan mereka yang beragam itu semua salah dan tidak beralasan.
Kelima,
Aku lihat manusia hidup saling mencela dan saling mengumpat. Kulihat pangkal semua itu adalah kedengkian dalam masalah harta, pengaruh, dan kepandaian.. Maka aku renungkan firman Allaah Swt dalam Surah Az-Zukhruf : 32, yang artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Robb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Juga dalam Qur’an surah Ali Imran ayat 26, yang artinya:
“...Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehandaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehandaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehandaki dan Engkau hinakan orang yag Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Oleh karena itu, aku mengerti bahwa pembagian rezeki dan kedudukan telah ditentukan Allaah sejak jaman azali. Karena itu, kubuang jauh-jauh sifat iri dengki dari hati. Kuterima dengan segala senang hati setiap pembagian dari Allaah Swt.
Keenam,
Kulihat manusia saling bermusuhan karena berbagai sebab dan tujuan. Maka kuhayati kembali firman Allaah Swt yang berbunyi:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu. Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Fathir: 6)
Maka mengertilah aku, bahwa orang tidak layak memusuhi, kecuali terhadap setan. Itu berarti orang yang memusuhi orang lain telah terkena jaringan setan
Ketujuh,
Aku lihat setiap orang bekerja keras dan memeras tenaga untuk mencari makan dan kebutuhan hidup hingga terjatuh ke dalam kesyubhatan, terjerumus pada yang haram, dan mencemarkan nama baik dan martabatnya. Maka kurenungkan ma’na kalam Allaah yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allaah-lah yang memberi rizqinya.” (QS. Huud: 6)
Maka aku mengerti bahwa rizqi itu berada pada kekuasaan Allaah semata. Masalah rizqi, Dia-lah yang menanggungnya. Karena itu, aku bangkit memelihara ibadah kepada-Nya dan kubuang jauh-jauh rasa loba dan tamak. Hanya kepada-Nya aku menyerahkan sepenuhnya masalah rizqi.
Kedelapan,
Aku sering melihat manusia menyandarkan nasib dan harapannya kepada sesamanya dan makhluk lainnya. Sebagian mereka ada yang menyandarkan kepada uang dan kebendaan. Ada pula yang bergantung kepada sesama manusia. Maka kembali kuperhatikan dengan sungguh-sungguh firman Allaah Swt, yang maksudnya:
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allaah, niscaya Allaah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allaah melaksanakan urusan yang dikehendaki- Nya. Sesungguhnya Allaah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)
Oleh karena itu aku bertawakal kepada Allaah, sebab hanya itu yang dapat mencukupi segala kebutuhanku. Hanya Allaah-lah sebaik baik pelindung.
Setelah mendengar keterangan Hatim, maka Syaqiq berkata,”Semoga Allaah memberikan taufiq kepadamu, wahai muridku dan sahabatku. Aku telah menelaah kitab Taurat, Injil dan Zabur, serta Al-Qur’an. Semuanya memberikan keterangn seperti yang kamu katakan tadi. Orang yang mengamalkan perkara itu, berarti ia telah mengamalkan keempat kitab suci tersebut...”
dikutip dari facebook milis kajianihya... Terimakasih Kang Daani!
sumber: Imam Al-Ghozali dalam kitab “Risalah Ayyuhal Walad” (Kepada Anakku Dekati Tuhanmu)
Rabu, Maret 11, 2009
Nasihat Imam Al-Ghazali kepada anaknya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar