With love,
Bitter become sweet
With love,
Turbidity become purify
With love,
Dead become life
With love,
King become slave.
From science, love can grow.
Have stupidity place people above throne like this?
Dengan cinta,
yang pahit menjadi manis.
Dengan cinta,
kekeruhan menjadi jernih.
Dengan cinta,
yang mati menjadi hidup.
Dengan cinta,
raja menjadi budak.
Dari ilmu, cinta dapat tumbuh.
Pernahkah kebodohan menempatkan orang di atas takhta begini?
(Jalaluddin Rumi)
Selengkapnya...
Kamis, Maret 05, 2009
The Miracle of Love
Selasa, Maret 03, 2009
Pendapat Orang Barat Tentang Rasulullah
1. Seorang orientalis Kanada, Dr. Zuwaimer di dalam bukunya “Timur dan Tradisinya” mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa Muhammad adalah termasuk pemimpin agama terbesar. Bisa juga dikatakan bahwa dia adalah seorang reformis, mumpuni, fasih, pemberani dan pemikir yang agung. Tidak boleh kita menyebutnya dengan apa yang bertentangan dengan sifat-sifat ini. Al-Qur’an yang datang bersama Muhammad dan sejarahnya menjadi saksi atas kebenaran klaim ini.”
2. Seorang Orientalis Jerman Bretly Hiler di dalam bukunya “Orang-Orang Timur dan Keyakinan-keyakinan Mereka” mengatakan, “Muhammad adalah seorang kepala negara dan punya perhatian besar pada kehidupan rakyat dan kebebasannya. Dia menghukum orang-orang yang melakukan pidana sesuai dengan kondisi zamannya dan sesuai dengan situasi kelompok-kelompok buas di mana Nabi hidup di antara mereka. Nabi ini adalah seorang penyeru kepada agama Tuhan Yang Esa. Di dalam dakwahnya, dia menggunakan cara yang lembut dan santun meskipun dengan musuh-musuhnya. Pada kepribadiaannya ada dua sifat yang paling utama dimiliki oleh jiwa manusia. Keduanya adalah “keadilan dan kasih sayang”.
3. Bernardesho seorang pemikir Inggris di dalam bukunya “Muhammad” mengatakan, “Dunia ini sangat membutuhkan pemikiran Muhammad. Nabi inilah yang meletakan agamanya senantiasa dalam posisi terhormat dan tinggi, agama yang paling kuat di dalam mencerna seluruh peradaban dan kekal sepanjang masa. Saya melihat banyak dari anak keturunan bangsaku yang masuk agama ini dengan bukti nyata. Agama ini akan mendapatkan kesempatan yang luas di benua ini – maksudnya adalah Eropa. Bahwa para tokoh agama pada abad pertengahan, akibat dari kebodohan dan fanatisme, telah menggambarkan agama Muhammad dengan gambaran yang gelap. Mereka menyebut agama Muhammad sebagai musuh bagi Kristen. Namun setelah saya mengkaji tentang orang ini (Muhammad), saya menemukan kekaguman yang luar biasa. Saya sampai pada kesimpulan bahwa dia bukan musuh bagi Kristen. Namun sebaliknya harus disebut penyelamat manusia. Dalam pandangan saya, sekiranya dia memegang kendali dunia pada hari ini pastilah dia bisa menyelesaiakan masalah kita yang dapat menjamin perdamaian dan kebahagiaan yang menjadi harapan manusia.
4. Professor bahasa Aramaic, Snersten Elasogi di dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad” mengatakan, “Sungguh kita tidak netral pada Muhammad kalau kita mengingkari apa yang ada pada dirinya, berupa sifat-sifat yang agung dan keistimewaan-keistimewaannya. Muhammad telah terjun di dalam perang kehidupan yang besar menghadapi kebodohan dan kesemrawutan, tetap teguh pada prinsipnya. Dia terus memerangi tindakan yang melampaui batas sampai berakhir pada kemenangan yang nyata. Sehingga syariatnya menjadi syariat yang paling sempurna, dia di atas para tokoh agung sejarah.”
5. Seorang orientalis Amerika Sneks di dalam bukunya “Agama Arab” mengatakan, “Muhammad muncul 570 tahun setelah Isa. Tugasnya adalah untuk meningkatkan akal manusia dengan memberinya dasar-dasar utama dan akhlak yang mulia, mengembalikan kepada keyakinan Tuhan yang Esa dan kehidupan setelah kematian.”
6. Michael Hart di dalam bukunya “Seratus Tokoh dalam Sejarah” mengatakan, “Pilihan saya Muhammad menjadi orang pertama yang terpenting dan teragung sebagai tokoh sejarah telah mengagetkan para pembaca. Namun dia (Muhammad) adalah satu-satunya tokoh dalam semua sejarah yang sukses dengan kesuksesan sangat tinggi pada tingkat Agama dan Dunia. Ada banyak rasul, nabi dan para pemimpin yang memulai dengan misi-misi agung. Namun mereka meninggal tanpa penyempurnaan misi-misi tersebut, seperti Isa di Kristen, atau yang lain telah mendahului mereka, seperti Musa di Yahudi. Namun Muhammad adalah satu-satunya (Rasul) yang menyempurnakan misi agamanya, menetapkan hukum-hukumnya dan diimani oleh bangsa-bangsa selama hidupnya. Karena dia mendirikan negara baru di sisi agama. Sedang di bidang dunia dia juga menyatukan kabilah-kabilah di dalam bangsa, menyatukan bangsa-bangsa di dalam umat, meletakan buat mereka semua asas kehidupannya, menggariskan masalah-masalah dunianya, meletakannya pada titik tolak menuju dunia. Dan juga di dalam hidupnya, dia adalah (Rasul) yang memulai risalah agama serta dunia dan menyempurnakannya.
7. Seorang sastrawan dunia, Lev Tolstewi, yang karya sastranya dianggap sebagai sastra yang paling bernilai tercatat dalam peninggalan kemanusiaan. Dia mengatakan, “Cukuplah Muhammad sebagai kebanggaan karena dia telah membebaskan umat hina yang haus darah dari cakar-cakar setan tradisi yang tercela. Membuka di depan muka mereka jalan yang tinggi dan maju. Bahwa syariat Muhammad akan menguasai dunia karena kesesuaiannya dengan akal dan kebijaksanaan.
8. Dr. Shaberk asal Austria mengatakan, “Sesungguhnya manusia pasti bangga memiliki afiliasi dengan tokoh seperti Muhammad. Dia itu meski dengan keumiannya (tidak bisa baca dan tulis) beberapa belas abad yang lalu mampu membuat undang-undang. Kita orang Eropa akan menjadi sangat bahagia apabila bisa sampai ke puncaknya.”
9. Seorang Filsuf Inggris yang penah mendapatkan hadiah Nobel, Tomas Karlil di dalam bukunya “Para Pahlawan” mengatakan, “Sungguh menjadi sangat aib bagi siapapun yang berbicara pada masa ini mengeluarkan ungkapan bahwa agama Islam adalah kedustaan dan bahwa Muhammad adalah penipu. Kita harus memerangi penyebaran kata-kata yang absurd dan memalukan ini. Sesungguhnya risalah yang ditunaikan utusan (Rasul) tersebut masih menjadi pelita yang bercahaya selama 12 abad lamanya. Apakah ada di antara kalian yang mengira bahwa risalah ini yang menjadi pegangan hidup dan matinya jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya adalah kedustaan dan penipuan.”
10. Sedang seorang Sastrawan Jerman Gotah mengatakan, “Sesungguhnya kita warga Eropa dengan seluruh pemahaman kita, belum sampai kepada apa yang telah dicapai Muhammad. Dan tidak akan ada yang melebihi dirinya. Saya telah mengkaji dalam sejarah tentang keteladanan yang tinggi untuk umat manusia ini. Dan saya temukan itu pada Nabi Muhammad. Demikianlah seharusnya kebenaran itu menang dan tinggi, sebagaimana Muhammad telah sukses menundukkan dunia dengan kalimat tauhid.”
SubhanAllah, seyogyanya kita patut untuk menjadikannya sebagai "uswatun hasanah" contoh suriteladan bagi kita semua yang mengaku sebagai ummat Rasulullah saw.
Selengkapnya...
Senin, Maret 02, 2009
Pupuh
Eling eling mangka eling,
rumingkang di bumi alam,
darma wawayangan bae,
raga taya pangawasa,
lamun kasasar lampah,
nafs nu matak kaduhung,
badan anu katempuhan.
Selengkapnya...
Rabu, Februari 25, 2009
Mengenal Diri
[TANYA] bersuluk, bermakna keberserahdirian. namun apakah yang dilakukan/dikerjakan oleh orang2 yg bersuluk? amalannya? dimana? caranya? kenapa? dan mengapa? (Nurhidayah)
[JAWAB] Bersuluk sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bermakna keberserahdirian. ‘Islam’ (aslama)-lah yang artinya ‘berserah diri’. ‘Islam’, adalah keberserahdirian dalam ketaatan dan pengabdian sejati kepada Allah.
Bersuluk, artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’, artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin - Lam - Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl [16] : 69, “Fasluki subula Rabbiki zululan,”“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)
‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian, dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah meraih pengenalan akan diri sejatinya dan Rabb-nya, dan telah diangkat oleh Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama, hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami. Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik (bermakna ‘pejalan’).
Ber-suluk adalah menjalankan agama sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ - ‘Islam’ - ‘Ihsan’ (tauhid - fiqh - tasawuf) sekaligus, sebagai satu kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah, walaupun tidak selalu demikian.
Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan syari’at Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam konteks sebaik-baiknya secara lahiriah maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-amalan sunnah tambahan, bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya, dan untuk lebih mendekat kepada Allah.
“Tidak ada cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan (sunnah) nawafil, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan melindunginya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari).
Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.
Dimana? Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak. Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.
Jadi, bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (ber-Islam), mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’), dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa ia diciptakan-Nya.
Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)
Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).
Juga,
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).
Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”
Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.
Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)
Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.
Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.
Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.
“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”
Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (’ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;
“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs; anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)
Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”
“Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)
Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.
Demikian pula, status ‘Abdullah’ (’abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.
Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah mengabdi/menghamba (ya’bud) kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)
Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)
Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.
Selengkapnya...
Selasa, Februari 24, 2009
Perlukah Cinta Melandasi Sebuah Pernikahan?
Oleh Kuswandani. Dikutip dari sini
Berbicara tentang cinta, tentu kita akan berhadapan dengan jutaan pemaknaan yang sangat beragam. Dan berbicara tentang cinta, maka setiap diri pun akan memiliki keragaman cara pandang. Setiap orang memiliki subjektivitas masing-masing dalam menilai konsep cinta, baik itu ditinjau dari sudut pandang agama, psikologi, sudut pandang seorang remaja yang baru mengenalnya bahkan setiap orang di peradaban mana pun tentu akan melihat dengan pandangan yang berbeda. Baik cinta yang mengandung nilai-nilai agama atau bahkan cinta bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk penistaan agama. Atas nama cinta orang bisa berkorban bagi Tuhannya, bagi negaranya, bagi kelompoknya, bagi kekasihnya, dan bagi siapa pun yang dia telah menjadi tumpuannya. Persoalan kita sekarang adalah, apakah cinta itu sendiri? Dan mengapa dalam ajaran suci Nabi Muhammad Saw. ada sebagaian umatnya yang kemudian meyakini penuh bahwa landasan cinta menjadi prasyarat utama sebuah pernikahan. Menikah tanpa cinta –menurut mereka- yang akan diperoleh kelak adalah kehancuran demi kehancuran.
Apa sih sebenarnya hakikat cinta itu? Mari kita sejenak berguru kepada seorang Waliyullah abad modern yang hidup dan mengabdikan dirinya di Negeri Barat Amerika. MR. Bawa Muhayyadien menuturkan,
Seorang bijak berkata kepadaku, “Anakku, mari kita bicara tentang cinta. Cinta apa yang kau miliki?” Merasa diri ini memang belum paham apa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiap wisdom yang menyemburat seperti cahaya.
Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkap esensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti, karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akal melayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauh dari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.
Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkan bunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernah ditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanya dengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawar itu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga dengan hatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yang terkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmu dengan kedamaian.
Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?
Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau pada kuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kau bersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagian dari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati. Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan harga yang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya.
Cintamu tidak sepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda, karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketika menungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikan kesenangan, kau berpaling.
Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatu dari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan. Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan. Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.
Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kau bilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jika pasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun, ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau enggan menghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.
Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang, tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuat salah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal. Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf.
Dan kelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kan kau cari pengganti dengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu, maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena dia memberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampu mendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.
Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kau bermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih saling membantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabat sejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan oleh harta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan keyakinanmu.
Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun dia terus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekal keyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukan saudaramu lagi.
Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kau mencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kau mendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena dia seiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudah cintamu. Cintamu telah berubah.
Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kau beri makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kau tinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu. Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah dan membakar tanpa ampun.
Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untuk mengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghina agamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkau jauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cinta kepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud atau menghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yang diajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.
Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskan cintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukan Kesejatian sebuah cinta. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cinta karena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah.
Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedang mengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untuk meninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal. Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap hari kendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turun dengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannya mengelupas, dan lama-lama tampaklah lobang di atas jalan itu.
Cinta yang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubah ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami hal ini, anakku.
Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Dia mencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidak membeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yang menghinNya, semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiap yang hidup.
Dia tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluk tidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yang menyembahNya saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cinta yang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetap mencintai setiap ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernah berubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan.
Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanam bibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam di sekitarmu.
Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yang kau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memiliki cinta sejati, True Love.
Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kau melihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kau mencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kau lihat, tapi yang kau lihat “Oh my God! Ini ciptaanMu, sungguh cantiknya. Ini kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya.”
Ketika kau lihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kau lihat pancaran CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalam misteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kau cintai, setiap yang kau lihat.
Ketika kau melihat makanan, kau bilang “Ya Allah, ini makanan dariMu. Sungguh luar biasa!” Ketika kau melihat seekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujud dalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihat Dia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadi berhalamu.
Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yang menciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kau belum mengerti.
Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulah kau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidak terikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu oleh baju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamu langsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, dan harta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsung melihat Dia.
Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku. Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya. Dirimu harus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawar merekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangi ke sekitarnya.
Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu, mekarkan mawarmu.
Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akan memancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegang segala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhala filosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akan pengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, teliti dengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?
Apakah Dia membenarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang “Allahu Akbar,” apakah kau benar-benar sudah bisa melihat ke-Akbar-an Dia dalam setiap yang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, maka sesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang.
Jalanmu menuju keber-Islam-an masih di depan. Kau masih harus membuka kebun bunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yang memegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu, masuklah ke dalam taman mawarmu.
Bersihkan rumput-rumput liar di sana, gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkallah. InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru istana.
Semoga Allah membimbingmu, anakku.
Semoga kiranya kita semua dapat mengambil mutiara sangat berharga yang Allah hunjamkan ke dalam hati guru kita, Bawa Muhayyadien dengan penuturannya yang indah tentang konsep cinta sejati.. Amin.
Ada sebuah hadis yang cukup masyhur di kalangan kita, berupa doa Rasulullah Saw,
اَللّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ . وَ حُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ . وَ حُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ …
Ya Allah, Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu… Dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu… Dan kecintaan kepada amal yang bisa mendekatkan diri pada kecintaan-Mu…
Bagi penulis, inilah definisi yang bisa diambil. Cinta adalah sebuah rasa yang bersifat universal, berlaku bagi setiap manusia di manapun juga. Cinta yang sejati adalah tatkala seseorang mencintai Allah di atas segalanya, dan seseorang mencintai manusia lain yang juga mencintai Allah, dan mencintai setiap perbuatan yang melahirkan kecintaan kepada Allah…
Seorang hamba yang shalih tentu akan berjuang menemukan keshalihan dalam hidupnya. Ketika dia belajar mencintai Allah, tentunya akan belajar pula untuk mengenal Allah dengan benar, dan bagaimana dia bisa mengenal Allah jika dia belum mengenal dirinya. Untuk bisa mengenal dirinya, maka Allah pun menghadirkan mekanisme pasangan dalam hidupnya. Sehingga kehadiran pasangan itu lah yang akan menjadi salah satu jalan seseorang dapat mengenal Allah. Lalu sejauh manakah seseorang bisa menemukan pasangan yang tepat bagi dirinya sehingga dapat menjadi sarana pengenalan dirinya, akan terukur dari buang pengenalan dengan pasangan itu apakah amal-amal shalih yang tampil kelak, atau keburukan. Maka apabila dari interaksi seseorang itu dengan pasangannya melahirkan amalan demi amalan yang mendekatkan pada cinta Allah, kita bisa meyakini bahwa itulah jalan yang haq yang Allah tuntun hingga kelak kita bisa mengenal Dia dengan benar.
Demikian pula ketika kita membangun rasa cinta, dengan siapa pun juga, dengan benda mana pun juga, sepanjang rasa itu dapat membuahkan sebuah tindakan-tindakan keshalihan yang menjadi sarana kecintaan kepada Allah, maka semoga cinta yang kita bangun itu adalah sebuah cinta yang haq menurut Allah.
Dan sebaliknya apabila rasa cinta yang kita bangun malah membuahkan keburukan demi keburukan, pelanggaran demi pelanggaran, kemaksiatan demi kemaksiatan baru, maka bisa kita yakini pula bahwa itulah cinta yang tidak Haq, cinta yang malah menarik seseorang semakin jauh dari kecintaan Allah.
Selengkapnya...
Minggu, Februari 22, 2009
7 Langit, 7 Malaikat Penjaga dan 7 Amal Sang Hamba
Ada sebuah hadits yang menurut saya sangat penting untuk direnungkan, dimana haditsnya lumayan cukup panjang, mudah-mudahan kita semua memperoleh hikmahnya.
Dari Ibnu Mubarok dan Khalid bin Ma’dan, mereka berkata kepada Mu’adz bin Jabal ra., “Wahai Mu'adz! Mohon ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah saw. Ajarkan kepadamu, yang telah dihapal olehmu dan selalu di ingat-ingat olehmu, karena saking halus serta dalamnya akan makna ungkapannya...,hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits yang terpenting?”
Mu'adz ra. Pun menjawab, “baiklah.. akan aku ceritakan..” tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat, kemudian beliau pun baru terdiam. Kemudian beliau berkata “Ehm,... sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah, ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau...” kemudian Mu'adz ra. Pun melanjutkan...
“Suatu hari, ketika aku menghadap Rasulullah saw. Yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Kemudian Nabi menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang Beliau.
Kemudian aku melihat Rasulullah saw. Menengadah ke arah langit dan bersabda, “segala kesyukuran hanyalah diperuntukan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaanNya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz...!” “Labbaik, wahai penghulu para rasul..!”
“Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla..!
“Wahai Muadz... Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya”.
Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya, dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut kelangit dunia yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah pun kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya. Namun, tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!!Aku adalah pemilik ghibah, Rabbku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia –(membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak akan suka mendengarnya)- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini..!!”.
Kemudian keesokkan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit ke-2. namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, “Berhenti kalian! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu... sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu beramal hanya berharap duniawi belaka. Rabbku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit ke-dua ini untuk menuju langit berikutnya!...” mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang didalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ke-3, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata...”Berhentilah kalian!... Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabbku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelisnya (perkumpulannya).”
Malaikat Hafadzah lainnya naik kelangit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji, dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit ke-4. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata,...”Berhentilah kalian!.. Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya!..Aku adalah malaikat penjaga sifat ‘ujub (takjub akan keadaan dirinya sendiri). Rabbku memerintahkan kepadaku agar tidak membiarkan amalannya melewati-ku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur ‘ujub didalam jiwanya ketika melakukan sesuatu perbuatan!...”
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang di iring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menuju langit kelima dengan malannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memliki cahaya bagaikan sinar matahari. Namun, sesampainya di pintu langit ke-5 tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu...”Saya adalah pemilik sifat hasad(dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabbku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalan tersebut melewatiku menuju langit berikutnya...!”
Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam, Namun malaikat penjaga pintu langit ke-6 berkata,...”saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah pemiliknya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah (kasih sayang) sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabbku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!”
Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara’ (berhati-hati dalam beramal). Amalan terbut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit ke-7, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata,..”Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum’ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabbku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini untuk menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta’ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya’, dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya’ tersebut...!”
Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta’ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah swt. Mereka berhenti di hadapan Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta’ala.
Namun tanpa disangka, Allah swt. Berfirman ...”Kalian adalah malaikat hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam dirinya. Sesungguhnya dia dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku!...Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-ku. Dan Aku maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah yang maha Mengetahui segala yang ghaib, yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam qalb-qlab. Tidak ada satupun di hadapan-ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku!!...
Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya,..”Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami.” Dan berkatalah seluruh petala langit,...”Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!”
Mendengar penuturan Rasulullah Saw sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu’adz Rahimahullah, dengan isak tangis yang cukup keras...lama baru terdiam kemudian beliau pun berkata dengan lirihnya,...”Yaa Rasulullah, bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi?” Rasulullah saw. Pun bersabada “Oleh karena itu wahai Mu’adz...Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...”.
Dengan suara yang bergetar Mu’adz pun berkata, “Engkau adalah seorang Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu’adz bin jabal...Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua..??” Nabi yang suci pun bersabda,...”Baiklah wahai Muadz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Al-Quran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Jangan tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya meraka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya ta’ala, “Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya.”(QS An-Naaziyat[79:2]) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapai tulang..” Mendengar penuturan Rasulullah saw sedemikian itu, Mu’adz kembali bertanya dengan suara yang semakin lirih, “Yaa Rasulullah, siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua...??”
“Wahai Mu’adz!sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala..Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engaku mencintai dirimu sendiri, dan engku membenci mereka sebagaimana dirimu membenci-nya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya...!!”
Khalid bin Ma’dan kemudian berkata bahwa Mu’adz bin jabal ra. Sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Quran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Al-Quran di dalam majelis pertemuannya.
Selengkapnya...
Sabtu, Februari 21, 2009
Nasehat
Beberapa waktu lalu saya mendapatkan beberapa sms dari seorang Ukhti yang penuh semangat. sms tersebut berisi nasehat-nasehat dan doa, walaupun isi-nya sederhana dan sudah tau sebelumnya tapi kalau diresapi dan direnungkan kembali sungguh sangat dalam makna-nya. Saya sangat senang sekali mendapatkan sms nasehat-nasehat ini, karena setiap manusia membutuhkan pemberi nasehat dan peringatan dalam hidupnya, karena manusia adalah mahluk pelupa dan pelalai, bahkan makhluk yang banyak berbuat kesalahan. Oleh karena itu, Allah swt. menyatakan:
Wal ashri, innal insaana lafii khusrin, illalladziina aamanuu wa ‘amilush-shaalihaati watawaa shaubil haqqi watawaa shaubish-shabri.
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Asr)
Semangat surat Al-Asr ini menjelaskan keharusan setiap orang untuk beriman dan beramal sholeh, jika ingin selamat baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan iman dan amal sholeh saja ternyata masih merugi, sebelum menyempurnakannnya dengan semangat saling memberi nasehat dan bersabar dalam mempertahankan iman, meningkatkan amal shaleh, menegakkan kebenaran dalam menjalankan kehidupan ini.
sms doa : "Semoga Allah jadikan shubuhmu cahaya, dzhuhurmu gembira, asharmu bahagia, isyamu keberkatan dan doamu tidak ditolak dan diluaskan rizkimu. Amin"
"Adakalanya qta perlu menangis agar tau hidup bukan sekedar ketawa, adakalanya perlu ketawa agar tau mahalnya nilai airmata. Bersyukur pada yang menyakitimu karena ia yang menabahkanmu, bersyukur pada yang tidak mengindahkanmu karena ia yang memupukmu berdikari, bersyukur pada yang menjatuhkanmu karena ia yang memperhebatkanmu, bersyukur pada yang menyiksamu karena ia yang menguji kesabaran dan ketabahanmu."
nasehat perumpamaan : "Tanam padi, rumput kan tumbuh jua. Tapi tanam rumput takkan tertumbuh padi. Begitu juga dunia dan akhirat, kejar akhirat, dunia kan dapat bersama tapi kejar dunia, itu semata yang didapat."
nasehat ini yang saya resapi bahwa kita harus melakukan seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw., yaitu tidak memisahkan dunia dan akhirat. Setiap aktivitas duniawi mempunyai proyeksi akhirat dan setiap amalan ukhrawi memiliki imbas duniawi. Sehingga terciptalah fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah.
Saya kemudian teringat juga dengan nasehat dari kakek, tapi saya memanggilnya dengan Bapak Uwa, sungguh jasa-jasanya begitu besar bagi saya yang setiap saat mendidik dan menasehati saya, semoga Almarhum diterima segala amal kebaikannya oleh Allah dan menerima limpahan rahmat-Nya. Dimana ketika sekolah stm dulu terbawa oleh lingkungan sempat jadi perokok beliau-lah yang menasehati saya sampai bisa berhenti. Satu lagi nasehatnya yang selalu saya ingat "Ingat! ketika menuntut ilmu itu harus focus, jangan merokok, jangan pernah minum minuman keras, dan jangan dulu ke perempuan". Dengan nasihat ini yang menjadikan saya belum pernah punya pacar setelah masa SMU sampai sekarang, soalnya kalau di SD dan SLTP masih belum dewasa dan sedang masanya puppy love :) Alhamdulillah adanya nasihat dari kakek saya ini seyogyanya jadi penjaga agar tidak salah jalan dan pengingat untuk selalu jujur yang mengahantarkan pada keberhasilan dan keselamatan.
Sangatlah disayangkan jika ada di antara kita yang menganggap sepele soal nasehat ini. Atau merasa dirinya sudah cukup, sudah pintar, sudah berpengalaman sehingga tidak lagi butuh yang namanya nasehat dari orang lain. Padahal dengan menerima nasehat dari orang lain pertanda adanya kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan dan menunjukkan kelebihan pada orang tersebut.
Kalimat “nasaha” yang artinya nasehat, makna dasarnya adalah menjahit atau menambal dari pakaian yang sobek atau berlubang. Maka orang yang menerima nasehat artinya orang tersebut siap untuk ditutupi kekeruangan, kesalahan, dan aib yang ada pada dirinya. Sedangkan orang yang tidak mau menerima nasehat menunjukkan adanya sifat kesombongan, keangkuhan, dan ketertutupan pada orang tersebut.
“Hak seorang muslim pada muslim lainnya ada enam: jika berjumpa hendaklah memberi salam; jika mengundang dalam sebuah acara, maka datangilah undangannya; bila dimintai nasehat, maka nasehatilah ia; jika memuji Allah dalam bersin, maka doakanlah; jika sakit, jenguklah ia; dan jika meninggal dunia, maka iringilah ke kuburnya.” (HR. Muslim)
Dengan saling menasehati antara kita, maka akan banyak kita peroleh hikmah dan manfaat dalam kehidupan kita. Akan banyak kita temukan solusi dari berbagai persoalan, baik dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat bangsa bahkan Negara.
Karenanya nasehat itu sangatlah diperlukan untuk menutupi kekurangan dan aib yang ada di antara kita. Karena nasehat itu dapat memberi keuntungan dan keselamatan bagi yang ikhlas menerima dan menjalankannya. Karena saling menasehati itu dapat melunakkan hati dan mendekatkan hubungan antara kita. Karena satu sama lain di antara kita saling membutuhkannya.
Terima kasih Ukhti, mudah-mudahan kita akan selalu seperti ini, saling nasihat-menasehati dalam kebaikan, saling mengingatkan ketika melakukan kemungkaran, saling memaafkan atas semua kesalahan dan saling mengasihi karena Allah.
Selengkapnya...