Oleh Kuswandani. Dikutip dari sini
Berbicara tentang cinta, tentu kita akan berhadapan dengan jutaan pemaknaan yang sangat beragam. Dan berbicara tentang cinta, maka setiap diri pun akan memiliki keragaman cara pandang. Setiap orang memiliki subjektivitas masing-masing dalam menilai konsep cinta, baik itu ditinjau dari sudut pandang agama, psikologi, sudut pandang seorang remaja yang baru mengenalnya bahkan setiap orang di peradaban mana pun tentu akan melihat dengan pandangan yang berbeda. Baik cinta yang mengandung nilai-nilai agama atau bahkan cinta bisa dijadikan sebagai kekuatan untuk penistaan agama. Atas nama cinta orang bisa berkorban bagi Tuhannya, bagi negaranya, bagi kelompoknya, bagi kekasihnya, dan bagi siapa pun yang dia telah menjadi tumpuannya. Persoalan kita sekarang adalah, apakah cinta itu sendiri? Dan mengapa dalam ajaran suci Nabi Muhammad Saw. ada sebagaian umatnya yang kemudian meyakini penuh bahwa landasan cinta menjadi prasyarat utama sebuah pernikahan. Menikah tanpa cinta –menurut mereka- yang akan diperoleh kelak adalah kehancuran demi kehancuran.
Apa sih sebenarnya hakikat cinta itu? Mari kita sejenak berguru kepada seorang Waliyullah abad modern yang hidup dan mengabdikan dirinya di Negeri Barat Amerika. MR. Bawa Muhayyadien menuturkan,
Seorang bijak berkata kepadaku, “Anakku, mari kita bicara tentang cinta. Cinta apa yang kau miliki?” Merasa diri ini memang belum paham apa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiap wisdom yang menyemburat seperti cahaya.
Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkap esensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti, karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akal melayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauh dari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.
Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkan bunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernah ditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanya dengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawar itu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga dengan hatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yang terkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmu dengan kedamaian.
Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?
Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau pada kuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kau bersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagian dari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati. Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan harga yang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya.
Cintamu tidak sepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda, karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketika menungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikan kesenangan, kau berpaling.
Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatu dari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan. Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan. Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.
Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kau bilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jika pasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun, ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau enggan menghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.
Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang, tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuat salah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal. Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf.
Dan kelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kan kau cari pengganti dengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu, maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena dia memberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampu mendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.
Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kau bermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih saling membantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabat sejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan oleh harta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan keyakinanmu.
Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun dia terus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekal keyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukan saudaramu lagi.
Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kau mencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kau mendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena dia seiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudah cintamu. Cintamu telah berubah.
Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kau beri makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kau tinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu. Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah dan membakar tanpa ampun.
Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untuk mengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghina agamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkau jauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cinta kepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud atau menghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yang diajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.
Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskan cintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukan Kesejatian sebuah cinta. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cinta karena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah.
Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedang mengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untuk meninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal. Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap hari kendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turun dengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannya mengelupas, dan lama-lama tampaklah lobang di atas jalan itu.
Cinta yang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubah ketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami hal ini, anakku.
Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Dia mencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidak membeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yang menghinNya, semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiap yang hidup.
Dia tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluk tidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yang menyembahNya saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cinta yang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetap mencintai setiap ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernah berubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan.
Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanam bibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam di sekitarmu.
Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yang kau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memiliki cinta sejati, True Love.
Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kau melihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kau mencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kau lihat, tapi yang kau lihat “Oh my God! Ini ciptaanMu, sungguh cantiknya. Ini kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya.”
Ketika kau lihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kau lihat pancaran CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalam misteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kau cintai, setiap yang kau lihat.
Ketika kau melihat makanan, kau bilang “Ya Allah, ini makanan dariMu. Sungguh luar biasa!” Ketika kau melihat seekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujud dalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihat Dia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadi berhalamu.
Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yang menciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kau belum mengerti.
Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulah kau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidak terikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu oleh baju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamu langsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, dan harta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsung melihat Dia.
Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku. Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya. Dirimu harus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawar merekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangi ke sekitarnya.
Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu, mekarkan mawarmu.
Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akan memancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegang segala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhala filosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akan pengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, teliti dengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?
Apakah Dia membenarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang “Allahu Akbar,” apakah kau benar-benar sudah bisa melihat ke-Akbar-an Dia dalam setiap yang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, maka sesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang.
Jalanmu menuju keber-Islam-an masih di depan. Kau masih harus membuka kebun bunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yang memegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu, masuklah ke dalam taman mawarmu.
Bersihkan rumput-rumput liar di sana, gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkallah. InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru istana.
Semoga Allah membimbingmu, anakku.
Semoga kiranya kita semua dapat mengambil mutiara sangat berharga yang Allah hunjamkan ke dalam hati guru kita, Bawa Muhayyadien dengan penuturannya yang indah tentang konsep cinta sejati.. Amin.
Ada sebuah hadis yang cukup masyhur di kalangan kita, berupa doa Rasulullah Saw,
اَللّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ . وَ حُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ . وَ حُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ …
Ya Allah, Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu… Dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu… Dan kecintaan kepada amal yang bisa mendekatkan diri pada kecintaan-Mu…
Bagi penulis, inilah definisi yang bisa diambil. Cinta adalah sebuah rasa yang bersifat universal, berlaku bagi setiap manusia di manapun juga. Cinta yang sejati adalah tatkala seseorang mencintai Allah di atas segalanya, dan seseorang mencintai manusia lain yang juga mencintai Allah, dan mencintai setiap perbuatan yang melahirkan kecintaan kepada Allah…
Seorang hamba yang shalih tentu akan berjuang menemukan keshalihan dalam hidupnya. Ketika dia belajar mencintai Allah, tentunya akan belajar pula untuk mengenal Allah dengan benar, dan bagaimana dia bisa mengenal Allah jika dia belum mengenal dirinya. Untuk bisa mengenal dirinya, maka Allah pun menghadirkan mekanisme pasangan dalam hidupnya. Sehingga kehadiran pasangan itu lah yang akan menjadi salah satu jalan seseorang dapat mengenal Allah. Lalu sejauh manakah seseorang bisa menemukan pasangan yang tepat bagi dirinya sehingga dapat menjadi sarana pengenalan dirinya, akan terukur dari buang pengenalan dengan pasangan itu apakah amal-amal shalih yang tampil kelak, atau keburukan. Maka apabila dari interaksi seseorang itu dengan pasangannya melahirkan amalan demi amalan yang mendekatkan pada cinta Allah, kita bisa meyakini bahwa itulah jalan yang haq yang Allah tuntun hingga kelak kita bisa mengenal Dia dengan benar.
Demikian pula ketika kita membangun rasa cinta, dengan siapa pun juga, dengan benda mana pun juga, sepanjang rasa itu dapat membuahkan sebuah tindakan-tindakan keshalihan yang menjadi sarana kecintaan kepada Allah, maka semoga cinta yang kita bangun itu adalah sebuah cinta yang haq menurut Allah.
Dan sebaliknya apabila rasa cinta yang kita bangun malah membuahkan keburukan demi keburukan, pelanggaran demi pelanggaran, kemaksiatan demi kemaksiatan baru, maka bisa kita yakini pula bahwa itulah cinta yang tidak Haq, cinta yang malah menarik seseorang semakin jauh dari kecintaan Allah.
Selasa, Februari 24, 2009
Perlukah Cinta Melandasi Sebuah Pernikahan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar