Berhentilah menyesali apa yang kita dapat dalam hidup kita adalah tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Secara Filosofis hal itu adalah hal yang paling penting dalam kita mendapat kebahagian dalam hidup yang kita jalani. karena kita akan merasa tertekan karena apa yang telah kita miliki dalam hidup tidak sesuai dengan harapan atau cita-cita kita.
Percaya atau tidak kebiasaan selalu tidak pernah bersyukur atau mensyukuri apa yang kita miliki atau kita dapat adalah sebuah kebiasaan buruk yang telah menjadi kebiasaan dari kita, sehingga kita sulit dalam mendapatkan kebahagian dalam hidup, karena selalu merasa tidak beruntung, walau sebenarnya kalau kita sadari kita telah memiliki banyak hal dalam hidup kita. Ketika kita mendapat sesuatu mimpi atau keinginan, sebagai manusia pasti kita akan tergoda atau tersirat dalam benak kita bahwa yang kita dapat terkadang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, dan jauh didalam hati kita, kita berharap mendapat sesuatu yang lebih baik lagi.
sebagai contoh, ketika ketika kita berharap pertama kita berharap mendapat mobil, tanpa embel-embel jenis mobil yang kita inginkan hanya sebuah mobil, tetapi sejalan kita bisa mendapat mobil, yang kita dapat mungkin sejenis minibus, tetapi dalam hatikita, mungkin kita berharap mendapat mobil sedan. hal ini membuat kita berfikir seandainya saya mendapat mobil sedan pasti saya lebih bahagia. Lupakah kita akan keinginan awal kita, yang berharap hanya mendapat mobil, tetapi ketika kita mendapat apa yang kita inginkan,keinginan kita berkembang menginginkan yang lebih. Itulah sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dan bahagia walau terkdang apa yang
diinginkan telah terpenuhi.
Coba deh kita tanyakan pada diri kita secara terbuka, pasti kita pernah mengalami perasan seperti ini, karena hampir semua orang pernah mengalaminya. permasalahanya adalah ketika terjadi GAP/perbedaan antara apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan, kita menjadi tidak puas atau bahkan bisa mengarah ke frustasi. hal ini berlaku dalam hubungan kita dan dalam semua aspek dalam kehidupan kita.
Kuncinya adalah dengan melihat atau menyadari tentang gap yang terjadi antara apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan. cobalah sedikit luangkan waktu untuk bertanya pada diri kita sendiri apa yang sebenarnya kita harapkan, dan tanyakan juga apakah kalau kita sudah memiliki yang kita inginkan kita akan puas, dan apa bedanya sesuatu yang kita miliki dengan apa yang kita inginkan, cobalah nikmati dan syukuri apa yang kita miliki saat ini, dan kita akan menemukan sesuatu yang membuat kita bahagia.
Karena yakinlah apa yang kita miliki adalah sesuatu yang terbaik, dan coba lihat sekeliling kita, bahwa banyak orang yang sebenarnya masih mengejar apa yang kita miliki, dan banyak orang yang menginginkan apa yang kita miliki, jangan menjadi menyesal ketika apa yang kita miliki Keluarga, Pekerjaan, Atau Bisnis, Pendidikan, atau pun suatu benda yang telah kita miliki itu hilang, atau raip. Jangan jadi orang yang menyesal ketika kita kehilangan yang kita miliki, karena kita tidak pernah mensyukuri dan menikmati apa yang kita miliki, karena terlalu terbuai dengan apa yang kita inginkan.
"Syukuri, Nikmati, dan Jaga apa yang kita dapat dan miliki saat ini, karena kita akan merasakan penyesalan ketika sesuatu yang kita miliki itu hilang " "Dengan bersyukur sesuatu yang kecil akan bernilai luar biasa"
Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata, “Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40).
Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).
Dua kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat Allah.
Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.
Secara umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. (An-Nahl 112)
Nikmat Allah
Betapa zhalimnya manusia, bergelimang nikmat Allah tetapi tidak bersyukur kepada-Nya (Ibrahim: 34). Nikmat yang Allah berikan kepada manusia mencakup aspek lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah) serta gabungan dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam kenikmatan itu dan mengingatkan kepada manusia akan nikmat tersebut dengan berulang-ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”
Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang Maha Penyayang memberikan limpahan nikmat kepada manusia dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghitungnya. Dari awal sampai akhir surat Ar-Rahman, Allah merinci nikmat-nikmat itu.
Dimulai dengan ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia. Dan menciptakan manusia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan makhluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang kekal. Di sana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk kenikmatannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”
Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah)
Sungguh Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah kita sadar akan nikmat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78, ada nikmat yang lain yang harus disyukuri manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Cobalah renungkan! Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak dapat melihat. Seluruh yang ada di hadapannya adalah sama. Tidak dapat melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta, tuli, dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah sakit, menjadi beban yang lainnya. Demikianlah nikmat penglihatan, pendengaran, dan akal. Demikianlah nikmat sarana kehidupan (wasail al-hayat).
Pedoman Hidup (Manhajul Hayah)
Sekarang apa jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir. Kemudian mata itu tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, dan akal tidak digunakan untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya makhluk. Mereka itu seperti binatang. Bahkan, lebih rendah dari binatang (Al-A’raf: 179).
Demikianlah, betapa besarnya nikmat petunjuk Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Nikmat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Nikmat ini mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus, penuh kejelasan, dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.
Al-Qur’an banyak sekali membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan binatang tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi (Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-Anfal: 55, Al-Maidah: 60). Diumpamakan juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (Al-Mulk: 22), buta dan tuli (Al-Maidah: 71), jatuh dari langit dan disambar burung (Al-Hajj: 31) kayu yang tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan lainnya.
Pertolongan (An-Nashr)
Ada satu bentuk kenikmatan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman disebabkan mereka komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Pertolongan Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf), pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan Allah yang lain (Al-Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-Nuur: 55).
Segala bentuk kenikmatan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)
Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin lebih parah lagi.
I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”
Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.
At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).
Tambahan Nikmat
Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Selasa, Februari 17, 2009
Syukur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Alhamdulillah Wa Syukrulillah...
BalasHapus